tasyri’ pada masa awal II hijriah sampai pertengahan abad IV hijriah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
      Muhammad SAW adalah seorang revosulioner sejati, keberhasilannya merubah pola masyarakat Arab hingga seluruh belahan dunia dalam berbagai aspek kehidupan, menjadikannya layak mendapat julukan ini. Setidaknya pendapat ini diyakini oleh semua umat Islam dan sebagian orientalis. Michael H. Hart dalam bukunya yang berjudul 100 Tokoh yang Paling Berpengaruh Di Dunia menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan yang pertama. Ia mengatakan bahwa Muhammad adalah sosok manusia yang berhasil memimpin dan menyebarkan Agama Islam hingga seluruh dunia. Namun setelah terjadinya perang salib akibat gerakan ekspansi kekuasaan dan keagamaan yang dilakukan oleh pasukan Islam sejak masa Khulafa’ ar’Rasyidin menimbulkan kebencian di kalangan umat Kristen terhadap sosok Nabi Muhammad SAW. Kebencian ini diwujudkan melalui cara, minsalnya saja melalui propoganda melalui pendapat, tulisan-tulisan, buku yang semuanya bertujuan menjatuhkan pamor Muhammad dihadapan umatnya dan umat manusia yang lainnya.
      Al-Quran dan hadis yang menjadi sumber hukum Islam juga tidak lepas dari sasaran sebagian orientalis yang tidak menghendaki Islam berkembang. Mereka mengatakan bahwa Al-Quran merupakan karya Muhammad yang disesuaikan dengan kondisi Arab pada masa itu. Sehingga Al-Quran tidaklah wajib untuk diimani. Hal ini kemudian bertentangan dengan doktrin Islam yang tercantum dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa Al-Quran berasal dari Allah SWT dan tidak ada campur tangan manusia sama sekali di dalamnya, meskipun unsur kebudayaan Arab pada masa itu menjadi latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Quran.
      Sejarah penetapan hukum Islam tidak le[pas dari fenomena di atas. Proses penurunan ayat-ayat Al-Quran hingga masa wafatnya Nabi Muhammad SAW. Maka pada makalah ini pemakalah akan membahas tentang tasyri’ pada masa awal abah II hijriah sampai pertengahan abad IV hijriah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Tasyri’ Pada Masa Awal Abad II Hijriah Sampai Pertengahan Abad IV Hijriah?
2.      Apa Saja Yang Menjadi Faktor Penyebab Perkembangan Tasyri’ Pada Masa Itu?
3.      Apa Saja Sumber Tasyri’ Pada Masa Itu Dan Siapa Pemegang Wewenangnya?
4.      Bagaimana Perkembangan Pembukuan Al-Quran Dan Hadis Pada Masa Itu?
5.      Dan Apa Saja Faktor Yang Menjadi Penyebab Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Itu?
C.     Tujuan Masalah
1.      Mengetahui Tasyri’ Pada Masa Awal Abad II Hijriah Sampai Pertengahan Abad IV Hijriah.
2.      Mengetahui Faktor Penyebab Perkembangan Tasyri’ Pada Masa Itu.
3.      Mengetahui Sumber Tasyri’ Pada Masa Itu Dan Pemegang Wewenangnya.
4.      Mengetahui Perkembangan Pembukuan Al-Quran Dan Hadis Pada Masa Itu.
5.      Mengetahui Faktor Yang Menjadi Penyebab Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Masa Itu.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Tasri’ pada masa awal abad II sampai dengan abad IV hijriah
      Masa tasyri’ periode ini dimulai pertengahan abad II sampai pertengahan abad IV hijriah (250 tahun), yaitu masa Bani Abbasiyah dan mujtahidin. Periode ini disebut sebagai periode perkembangan kematangan tasyri’ yang gemilang karena fiqh dan ijtihad ulama mengalami perkembangan yang luar biasa.  Masa ini juga disebut masa penyempurnaan; di mana terjadi pembukuan sunnah, fatwa para sahabat, fatwa tabi’in dan tabi’ tabi’in, hadis-hadis tafsir, ilmu-ilmu hadis, serta fiqh dan ushul fiqh. Berbagai aspek kehidupan mengalami kemajuan; baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, maupun ilmu pengetahuan.
      Pada periode ini muncul tokoh mujtahidin dan ulama besar yang menjadi tokoh istinbat dari bernagai mazhab. Mazhab-mazhab tersebut, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, dan mazhab Hanbali. Pertentangan Madrasah Al-Hadis dengan Madrasah Al-Ra’yi menipis sehingga masing-masing pihak mengakui peranan ra’yu dalam berijtihad.
      Seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Abu Zahrah, guru besar fiqh di Universitas Al-Azhar, Mesir; bahwa pertentangan ini tidak berlangsung lama, karena ternyata kemudian masing-masing kelompok saling mempelajari kitab fiqh kelompok lain. Imam Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, ulama dan mazhab Hanafi yang dikenal sebagai ahli ra’yu, datang ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik dan mempelajari kitabnya, Al-Muwaththa’ (buku hadis dan fiqh). Imam Al-Syafi’i, salah seorang tokoh ahli hadis, belajar kepada Muhammad bin Hasan Al-Syaibani. Imam Abu Yusuf, tokoh ahli ra’yu, banyak yang mendukung pendapat ahli hadis dengan mempergunakan hadis-hadis Rasulullah SAW. Oleh sebab itu, menurut Imam Muhammad Abu Zahrah, ktab-ktab fiqh banyak berisi ra’yu dan hadis. Hal ini menunjukkan adanya titik temu antara masing-masing kelompok.
      Kitab-kitab fiqh mulai disusun pada periode ini dan pemerintah Daulah Abbasiyah pun menganut mazhab Hanafi sebagai pegangan para hakim di pengadilan. Di samping sempurnanya penyusunan kitab fiqh dalam berbagai mazhab, dalam periode ini juga disusun kitab-kitab ushul fiqh, seperti kitab Al-Risalah yang disusun oleh Imam Al-Syafi’i. Fiqh iftiradi (fiqh berdasarkan pengandaian tentang persoalan yang akan terjadi di masa datang) pun semakin berkembang karena pendekatan yang dilakukan tidak lagi bersifat aktual, tetapi mulai bergeser pada pendekatan teoritis. Oleh sebab itu, hukum untuk permasalahan yang mungkin akan terjadi sudah ditentukan.
      Fiqh sudah menjelma sebagai salah satu cabang ilmu yang mengandung pengertian hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah (praktis) dan dalil-dalilnya yang terinci. Ushul fiqh pun telah matang menjadi salah satu cabang ilmu. Berbagai metode ijtihad, seperti qiyas, istihsan, dan istislah; telah dikembangkan oleh ulama fiqh. Dalam perkembangannya, fiqh tidak saja membahas persoalan aktual, tetapi juga menjawab persoalan yang akan tejadi, sehingga bermunculanlah fiqih iftiradhi.

B.     Beberapa faktor penyebab perkembangan tasyri’.
      Berikut ini faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.[1]
1.      Faktor Politik
            Politik adalah segala aktivitas yang berhubungan dengan kekuasaan untuk memengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu bentuk susunan masyarakat.[2]          
            Pada fase ini, perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Daulah Abbasiyah fanatik  terhadap dua hal, yaitu terhadap Arab dan Persia.. Fanatik Arab memegang kekuasaan dan fanatik Persia sebagai propagandis Abbasiyah. Keduanya saling menolong. Bahkan Al-Ma’mun yang terdidik Persia ingin menghapuskan fanatik Arab.. Pemberontakan yang pertama dari golongan Syiah terjadi di Andalusia, ketika keturunan Bani Umayyah mengasingkan diri dan mendirikan kekhalifahan di sana. Syiah merasa lebih berhak atas kekhalifahan ini dari pada golongan lain. Kemudian terjadi pemberontakan berikutnya di Mekah yang dipimpin Musa Al-Hadi bin Muhammad Al-Mahdi bin Abu Ja’far Al-Mansur, tetapi ia terbunuh.
             Imam keenam Syiah, Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq, ketika ia meninggal, Syiah terbagi menjadi dua:
a.       Syia Itsna Asyariyyah dipimpin oleh Musa Al-Kazham yang dikenal dengan Musawiyah. Sesudah Musa wafat, imamah diberikan kepada cucunya yang kedua belas, yaitu Abu Al-Qasim Muhammad Al-Askari bin Hasan Al-Askari bin Ali Al-Hadi bin Muhammad Al-Jawad bin Ali Ridha bin Musa Al-Kazhim bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Syiah Imamiyyah memercayai setelah ayahnya meninggal, imam akan muncul pada akhir zaman.
b.      Syiah Ismailiyyah dipimpin oleh Ismail bin Ja’far Sahdiq. Mereka berusaha memperoleh khalifah. Oleh sebab itu, muncullah Imam Ubaidillah Al-Mahdi di afrika yang membentuk Daulah Fathimiyyah.

2.      Faktor Perluasan Daerah
            Perluasan Daulah Abbasiyyah pada masa ini mencapai kepada ke Barat (Andalusia) dan ke Timur (Cina). Perluasan wilayah yang dipimpin oleh Abu Al-Abbas Al-Saffah mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan fiqh dan tasyri’, karena pemerintahan mengatasnamakan agama. Tokoh-tokoh pemerintahannya sangat memerhatikan agama dan perundang-undangan negara diupayakan bersumberkan dari hukum Islam.
            Upaya perluasan ini membutuhkan pembukuan perundang-undangan sebagai pedoman para hakim dan gubernur dalam melaksanakan tugas. Buku pedoman itu juga dibutuhkan rakyat yang menghendaki fatwa-fatwa untuk segala urusan mereka dalam segala bidang.

3.      Faktor Perbedaan Penggunaan Ra’yu[3]
             Secara etimologi ra’yu berarti keyakinan (i’tiqad), analogi (qiyas), dan ijtihad.[4] Berdasarkan terminologi, Menurut para ulama, ra’yu atau akal dinamakan juga dengan tafsir dirayah, Karena penafsiran kitabAllah bertitik tolak dari pendapatnya dan ijtihadnya, tidak berdasarkan pada apa yang dinukilkan dari sahabat atau tabi’in.[5] Yang dimaksud ra’yi di sini ialah ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya digunakan oleh orang yang hendak menjalani tafsir al-qur’an atau pengertiannya.
            Pada periode ini para ulama dalam mengemukakan pemikirannya dapat dapat digolongkan menjadi dua golongan. Pertama, ahli hadis yang dominan menggunkan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu. Kedua, ahli ra’yu yang lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan hadis. Perkembangan dua pemikiran tersebut dapat menyebabkan perbedaan dalam menggunakan metode untuk memahami teks Al-Quran dan hadis, menentukan sumber hukum Islam, dan menerapkan fatwa yang diberikan kepada umat Islam.

4.      Paktor Perkembangan Ilmu Pengetahuan
             Dalam bidang ilmu kalam, terjadi perdebatan bahwa setiap kelompok memiliki cara berpikir tersendiri dalam memahami aqidah Islam. Selain itu, terjadi pula perbedaan pendapat antara ahli ilmu kalam, ahli ilmu hadis, dan ahli ilmu fiqh. Setelah dibukukannya Al-Quran dan hadis, ulamapun sudah paham betul dengan keadaan yang terjadi. Mereka dapat memecahkan berbagai macam permasalahan, sehingga pemecahan itu dapat dijadikan yurisprudensi hakim masa ini.
             Masyarakat wilayah taklukan Islam belajar agama di bawah bimbingan para imam yang paham betul dengan Al-Quran dan hadis. Mereka yang belajar mulai memasuki persaingan dalam pengembangan ilmu, di antaranya ilmu kedokteran dan logika. Pada masa ini muncullah cendikiawan muslim, seperti Ibnu Rusyd, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali.[6]

5.      Faktor Lahirnya Para Tokoh Mujtahid
            Mujtahid artinya orang yang berjuang, jamaknya mujtahidun. Mujtahidun adalah para pendiri mazhab hukum Islam dan sejumlah tokoh besar mazhab hukum Islam.[7]
             Pada abad ini muncul para cendikiawan dalam berbagai bidang ilmu, seperti teologi, hukum, dan tasawuf. Dalam bidang fiqh Islam, muncul berbagai tokoh, seperti abu Hanifah dan ashhab-nya, Imam Malik dan ashhab-nya, Imam Al-Syafi’i dan ashhab-nya, serta Imam Ahmad bin Hanbal dan ashhab­-nya. Pemikiran-pemikiran yang mereka miliki berperan dalam memproses suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat.
             Berkembangnya keadaan membuat banyak permasalahan baru yang terjadi. Dengan demikian, baik para pemimpin maupun hakim, mengembalikan permasalahan-permasalahan yang terjadi kepada para mufti dan tokoh ahli perundang-undangan.
             Umat Islam pada masa ini berusaha agar ibadah dan muamalah sesuai dengan hukum Islam. Mereka senantiasa bertanya atau meminta fatwa kepada para ahli fiqh mengenai hal-hal baru yang tidak ada penjelasannya di dalam Al-Quran dan hadis.


6.      Faktor terbukukannya Sumber Tasyri’
             Ulama yang ber-istinbath, memperoleh metode yang telah ditetapkan. Mereka telah memperoleh dasar-dasar syariat yang memahami peristiwa-peristiwa yang dialami orang-orang sebelumnya. Al-Quran telah dibukukan dengan sempurna bahkan penulisannya ditambahkan titik dan harakat. Model penulisan seperti ini telah tersebar lua di kalangan masyarakat. Sunnah pun sebagian besar telah terkodifikasikan sejak pertengahan abad II Hijriah dan mengalami kejayaan pada abad III Hijriah sehingga muncullah buku-buku hadis induk. Tidak hanya itu, fatwa para sahabat dan tabi’in juga mengalami perkembangan. Hal ini terlihat munculnya kitab ­Al-Umm dan Al-Risalah yang ditulis oleh Al-Syafi’i.

C.     Sumber Tasyri’ dan Pemegang Wewenangnya
1.      Sumber Tasyri’
             Sumber-sumber prundang-undangan pada periode ini ada empat, yaitu Al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyas.[8]
a.       Al-qur’an adalah kalam Allah yang diuturunkan oleh-Nya melalui perantaraan malaikat jibril ke dalam hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah dengan lafazh berbahasa arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi qurbah dimana mereka beribadah dengan membacanya.[9]
b.      As-Sunnah adalah segala sesuatu yang di sandarkan kepada nabi Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.[10]
c.       Ijma’ merupakan kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa atas suatu hukum syara’.[11]
d.      Qiyas ialah menetapkan sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan sesuatu hukum yang sudah ditentukan oleh nash, disebabkan adanya persamaan diantara keduanya [12] 
             Apabila terjadi sesuatu peristiwa para ahli fatwa merujuk pada Al-quran. Mereka memerhatikan nash yang menunjuk kepada hukum yang dimaksud dan memahami nash itu. Pada periode ini ada dua hal yang dapat memengaruhi Alquran, yaitu penelitiannya dan penjagaannya dari segala macam perubahan. Dari segolongan umat Islam ada juga yang bersungguh-sungguh menghafal Alquran dan memperbaiki sistem penulisannya dengan memberikan titik dan harakat.
             Jika apa yang mereka maksud tidak terdapat dalam kitabullah, mereka baru beralih ke sunnah; karena sunnah berfungsi menerangkan Alquran. Tidak ada yang menentang pendapat ini. Ulama mufti berhenti pada nash yang mereka peroleh dalam Alquran dan sunnah. Mereka tidak beranjak lagi dari nash-nash tersebut.
             Jika mereka tidak mendapatkan pula dalam nash-nash Alquran dan hadis, mereka mencari ijma’ ulama salaf. Jika terdapat di dalam ijma’, mereka mengamalkannya. Jika tidak terdapat dalam ijma’, barulah mereka berijtihad dengan menggunakan qiyas atau memerhatikan ruh syariat dengan jalan qiyas atau dengan jalan istinbath yang lain.

2.      Pemegang Wewenang Tasyri’
             Pada periode ini tabi’ tabi’in adalah pemegang wewenang tasyri’. Mereka adalah generasi tabi’in yang memerhatikan prinsip-prinsip umum dalam men-tasyri-kan hukum. Mereka lalu digantikan para muridnya, yaitu para imam mujtahid.
             Muztahidin empat mazhab mengambil periwayatan dari Ibnu Umar, anak Ibnu Umar Salim dan Nafi’, “fuqaha tujuh” di Madinah. Fuqaha tujuh tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Sa’id bin Al-Musayyab (w. 92 H). Ia lahir pada masa kekhalifahan Umar bin Al-Khaththab. Imam Malik hanya bertemu muridnya, yaitu Ibnu Syihab.
b.      Urwah bin Al-Zubair (w. 94 H), keponakan Aisyah.
c.       Abu Bakar bin Udaid bin Al-Harits, mengambil periwayatan dari Aisyah.
d.      Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Al-Shiddiq (w. 108 H).
e.       Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud. Ia diantaranya mengambil dari Aisyah dan Ibnu Abbas. Salah satu muridnya adalah Umar bin Abdul Aziz (w. 99 H).
f.                Sulaiman bin Yasar; maula ummul mukminin, Maimunah. Ia adalah murid Zaid bin Tsabit; Abdullah bin Umar; Abu Hurairah; serta dua ummul mukminin, Maimunah dan Ummu Salamah.
g.      Kharijah bin Zaid bin Tsabit. Ia mewarisi ilmu faraidh dari ayahnya.[13]

3.      Fuqaha sebagai Mahaguru dan Perawi Hadis.
            Mahaguru adalah guru besar atau Profesor pada perguruan tinggi. Sedangkan. [14]Perawi adalah orang yang menerima hadist dan menyampaikannya dengan salah satu bahasa penyampainnya.[15]
Di antara generasi ulama tasyri’ yang terkenal pada periode ini adalah sebagai berikut.
a.       Di Madinah
         Di antara ulama tasyri’ dari kalangan sahabat, yaitu Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Urwah bin Zubair, Sa’id bi Al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Ubaidillah bin Abdillah, Abdullah bin Umar, dan Zaid bin Tsabit.
         Sementara itu, dari kalangan tabi’in adalah Abu Bakar bin Abdurrahman bin Al-Haris bin Hisyam dan Al-Qarim bin Muhammad bin abu Bakar Al-Shiddiq. Adapun dari kalangan tabi’ tabi’in adalah Muhammad bin Syihab Al-Zhuhri dan Yahya bin Syu’ib. Tidak hanya itu, dari kalangan imam mujtahid adalah Malik bin Anas dan para sahabatnya.
b.      Di Mekkah
         Ulama tasyri’ dari kalangan sahabat adalah Abdullah bin Abbas. Dari kalangan tabi’in adalah Ikrimah, Mujahid, dan Atha’. Sementara itu, dari kalangan tabi’ tabi’in adalah Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid (mufti Al-Haram). Adapun dari kalangan imam mujtahid adalah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i. Selanjutnya, murid-murid Al-Syafi’i yang memiliki mazhab tersendiri adalah Ahmad bin Hanbal dan Dawud bin Ali Al-Zhahiri.
c.       Di Kuffah
         Sahabat yang menjadi ulama tasyri’ di Kuffah adalah Abdullah bin Mas’ud. Dari kalangan tabi’in adalah Alqamah bin Qais dan Al-Qadhi Syuraih. Dari kalangan tabi’ tbai’in adalah Ibrahim Al-Nakha’i. Selanjutnya, murid Ibrahim yang terkenal adalah Hammad bin Sulaiman dan Abu Hanifah.
d.      Di Mesir
         Ahli tasyri’ dari kalangan sahabat adalah Abdullah bin Amr bin Al-Ash. Dari kalangan tabi’in adalah Yazid bin Habib (mufti Mesir). Dari kalangan tabi’ tabi’in adalah Al-Laits bin Sa’ad dan Abdullah bin Hakam. Dan kalangan imam mujthid adalah Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, setelah pindah dari Baghdad.







D.    Perkembangan Pembukuan Al-Qur’an dan Hadist
1.      Pembukuan Al-Qur’an[16]
             Kita mengetahui bahwa AL-quran pertama kali dibukukan pada masa khalifah Utsman dan itu merupakan karya besar monumental beliau.[17] Dan pada periode ini, para penghafal Al-Qur’an bertambah banyak dan tersebar di seluruh wilayah Islam. Di setiap wilayah, terdapat para qari dan pengahafal Al-Qur’an. Pada abad II hijrah ini, timbul banyak bacaan Al-Qur’an yang berbeda. Ada sekitar sepuluh samapi empat belas bacaan. Akan tetapi, bacaan tersebut diseleksi oleh ulama. Tujuh diantaranya mutawatirdan dapat diterima umt Islam. Tujuh bacaan tersebut dinamakan Qiraah Imam Tujuh (Qiraah Sab’ah). Berikut ini adalah nama tujuh Imam berikut:
a.       Abu Amr bin Ali Al-Mazini. Ia berasal dari Kaziruni yang belajar dari murid-murid Ibnu Abbas. Ia meninggal di Kuffah pada athaun 154 Hijriah. Di antara periwayat qiraahnya adalah Yahya bin Mubarak Al-Yazidi yang kemudian diriwayatkan oleh Abu Hafash bin Umar Al-Duri (w. 264 H) di Baghdad dan Abu Syu’ib Shalih bin Zayad Al-Susi (w. 291 H). Mayoritas penduduk Sudan belajar dengan Abu Amr.
b.      Ibnu Katsir (w. 120 H). Nama aslinya adalah Abdullah bin Katsir, maula  Amr bin Alqamah yang berasal dari Persia. Muridnya yang terkenal adalah Abu Al-Hasan Ahmad bin Abdillah Al-Bazzi (w. 250 H) dan Abu Umar Muhammad yang diapnggil Qunbul (w. 291 H) keduanya tinggal di Mekkah.
c.       Nafi’ bin Nua’im (w. 120 H), maula Ja’unah Al-Madani. Nafi’ belajar dari murid-murid Ibnu Abbas. Adapun di antara muridnya yang terkenal adalah Isa bin Mina yang dipanggil Qalun (w. 205 H) di Madinah dan Abu Sa’id Utsman bin Sa’id Mishri yang diapnggil Warasy (w. 198 H) di Mesir. Qiraahnya diikuti mayoritas penduduk Maghribi.
d.      Ibnu Amir Al-Syami Abdullah bin Amir (w. 118 H). Ia belajar dari murid-murid Utsman dan Abu Darda’. Di antara muridnya yang terkenal bernama Abu Al-Walid Hisyam bin Amr Al-Dimasyqi (w. 245 H) dan Abu Amr Abdillah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan (w. 242 H). Keduanya tinggal di Damaskus.
e.       Ashim Al-Kufi (W. 128 H). Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Ashim bin Abi Al-Nujud. Ia belajar dari murid-murid Utsman , Ali, Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’b, dan Zaid bin Tsabit.  Ia meninggal di Kufah. Di antara muridnya bernama Syu’bah bin Iyasyi Ak-Kufi (w. 193 H) dan Hafash bin Sulaiman (w. 180 H). Keduanya berada di Kufah. Penduduk Mesir dan qiraahnya.
f.                Hamzah bin Habib Al-Zayyah Al-Kufi (w. 145 H). Ia belajar dari sanad Ali, Ibnu Abbas, dan Utsman. Di antara muridnya yang terkenal bernama Khalaf bin Hisyam Al-Bazar (w. 229 H) di Baghdad dan Isa bin Khalid yang dipanggil Khalad (w. 220 H) di Kufa.
g.      Al-Kisa’i Al-Kufi (w. 179 H). Nama lengkapnya adalah Abu Al-Hasan Ali bin Hamzah bin Habib. Di antara muridnya bernama Abu Al-Harits Al-Laits bin Khalid (w. 240 H) di Baghdad dan Al-Duri (w. 246 H) di Baghda, menurut riwayat Abu Amr bin Al-Ala.
             Di antara tujuh imam di atas, yang paling banyak diikiti oleh mayoritas umat Islam Indonesia adalah qiraah Imam Ashim Al-Kufi melalui periwayatan muridnya, Hafash bin Sulaiman.
             Pada abad III Hijriah, keindahan khat Al-Qur’an berkembang dari sistem penulisan dasar naskhi menjadi berbagai bentuk tulisan,  di antaranya seperti kufi, maghribi, dan riq’i. Demikian juga terjadi perkembangan pada tanda-tanda di dalam Al-Qur’an, seperti lambang akhir ayat, serta tanda wakaf, juz, dan hizb.
2.      Pembukukan Hadis Nabi SAW
             Pada akhir abad I Hijriah, Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) menganggap perlu sekali adanya pembukuan hadis. Ia khawatir lenyapnya ajaran-ajaran Nabi dengan wafatnya para ulama, baik dari kalangan sahabat dan tabi’in. Ia mengintruksikan kepada para gubernur di seluruh wilayah negeri Islam agar para ulama membukukan hadis-hadis.                                     Seorang ulama yang populer dan banyak ansil dalam menghimpun hadis, baik dari Nabi maupun dari sahabat, adalah Ibnu Al-Syihab Al-Zuhri. Mengenal penghimpun ini, ia berkata, “Kami diperintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz untukn menghimpun sunnah. Kami telah melaksanakannya dari buku ke buku, kemudian dikirim ke setiap wilayah, kekuasaan khalifah satu buku.”
             Selain Ibnu Al-Syihab Al-Zuhri, ulama lain  yang juga berperan dalam menghimpun hadis adalah:
a.       Ibnu Juraij (w. 150 H) di Mekkah.
b.      Al-Auza’i (w. 156 H) di Syiria.
c.       Sufyan Al-Tsauri (w. 161 H) di Kufah. [18]Dia adalah al-Hafidh adl-Dlabith (penghapal yang cermat) al-Imam al-Hujjah Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id bin Masruq al-Kufi.[19]
d.      Imam Malik (w. 179 H) di Madinah.
e.       Al-Rabi’in bin Shabih (w. 160 H) di Bashrah.
f.                Husyaim Al-Wasithi (w. 188 H) di Wasith.
g.      Ma’mar Al-Azdi (w. 153 H) di Yaman.
h.      Jarir Al-Dhabi (W. 188 H) di Rei.
i.                 Ibnu Mubarak (w. 181 H) di Khurasan, dan
j.                 Al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H) di Mesir.
             Pengodifikasian hadis ini terjadi sekitar tahun 140 Hijriah . namun, hadis pad abad ini masih bercampur denagn perkataan sahabat. Materi hadisnya dihimpun dari shuhup yang ditulis oleh para sahabat sebelumnya  dan diperoleh melalui periwayatn secara lisan, baik dari sahabat maupun tabi’in. Kitab-kitab hadis yang samapi kepada kita di antaranya Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik dan Musnad Al-Syafi’i.
             Kitab hadis pada mulanya  di tulis per bab. Pendapat para sahabat dan tabi’in, dimasukkan ke dalamnya. Pembukuan hadis seperti ini disebut mushannaf. Di antaranay mushannaf yang terkenal adalah Al-Muwaththa’. Sebagian ulam ada yng mengumpulkan hadis dan mengurutkannya berdasarkan nama para sahabt yang menerima riwayat dari Rasulullah. Kitab ini disebut Musnad, seperti Musnad Al-Syafi’i dan Musnad Al-Imam Ahmad.
             Pada abad III Hijriah, terjadi kemajuan dalam pengodifikasian yang disebut azha ‘ushur al-sunnah al-nabawiyyah (masa keemasan sunnah). Pada masa ini, kegiatan rihlah untuk mencari sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa. Hampir seluruh hadis telah berhasil dilakukan. Di samping itu, ulama telah ammpu memfilter antara hadis dari Nabi dan perkataan sahabat. Mereka juga mmapu menyeleksi dan mengklasifikasikan antara hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Oleh sebab itu, lahirlah buku hadis Musnad, Buku Enam, Buku hadis Sunan, dan buku hadis Shahih yang dijadiakn pedoman oleh umat Islam.
             Berbicara mengenai buku enam, buku induk ini terdiri atas enam buku hadis yang berbeda.
a.       Al-Jami’ Al-Shahih li Al-Bukhari (194-256 H).
b.      Al-Jami’ Al-Shahih li Muslim (204-261 H). Kedua kitab ini disebut Al-Shahihain, Al-Syaikhain, atau Muttafaq ‘Alaih.
c.       Sunan Al-Nasa’i (215-303 H).
d.      Sunan Abu Daud (202-276 H).
e.       Al-Jami’ Al-Tirmidzi (209-269 H).
f.                Sunan Ibn Majah (209-276 H).
             Pada masa ini lahir huffazh  dan pembesar kritikus hadis, seperti Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rawaih, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Muslim, Abu Abdillah Al-Bukhari, Muslim bin Al-hajjaj, dan Abu Zur’ah, sekalipun menghadapi ujian dari kaum Mu’tazilah. Untuk emnjawab tantanagn dari ahli kalam yang menyerang matan dan sanad hadis, Ibnu Qutaibah (w. 234 H) menulis sebuah buku yang berjudul Ta’wil Mukhtalif Al-Hadis.
             Tidak banyak penambhan hadis pada abad  IV Hijriah dan berikutnya dilakukan teknik pembukuan dengan lebih sistematis. Kegiatan pengodifikasian hadis dibuat dalam bentuk ikhtisar, istikhraj, dan syarh (ulasan). Berikut ini buku-buku hadis yang muncul pad abad IV.
a.       Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Mu’jam Al-Ausath, dan Al-Mu’jamAl-Sshghar karya Sulaiman bin Ahmad At-Thabrani (w. 360 H).
b.      Shahih Ibn Hibban Al-Basti (w. 354 H).
c.       Shahih Ibn Khuzaimah (w. 311 H).
d.      Shahih Ibn Al-Sakan (w. 353 H).
e.       Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahihain yang ditulis Abu Abdullah Al-Hakim Al-Naisaburi (w. 405 H).
f.                Muntaqa Ibn Al-Jarud (w. 307 H).
g.      Sunan Al-Dar Al-Quthni (w. 385 H).
h.      Sunan Al-Baihaqi (w. 458 H).
             Dikalangan Syi’ah, terdapat pula beberapa kitab hadis yang disebut dengan Al-Akhbar. Berikut kitab-kitab tersebut.
a.       Al-Kafi, karya Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaimi (w. 328 H).
b.      Man La Yahdhuruh Al-Faqih, karya Ibnu Babawaih (w. 381 H).
c.       Al-istibhar fi Ma Ukhtulifa min Al-Akhbar, karya Ibnu Babawaih (w. 381 H).
d.      Tahdzib Al-Ahkam, karya Ja’far Muhammad Al-Thusi (w. 411 H).
             Kitab syi’ah yang muncul belakangan adalah Al-Majmu’ yang mengandung hadis-hadis dan beberapa fatwa yang diriwayatkan dari Imam Zaid bin Ali, Imam Syiah Zaidiyyah (w. 120 H). Kitab ini disyarahakn oelh Syafaruddin Al-Husain bin Ahmad Al-Haimi (w. 1121 H). Syaraj itu diberi nama Al-Raudh Al-Nadhir, sSyarh Majmu’ Al-Fiqh Al-Kabir. Buku inilah yang berkembang di kalangan Syi’ah Zaidiyyah dan menjadi pedoman dalam hukum fiqh.

E.     Beberapa Faktor Penyebab Perkembangan Ilmu Pengetahuan 
      Ada beberapa faktor yang mungkin dianggap sebgai faktor penyebab berkemangnya ilmu pengetahuan dan perdaban pada masa abad II sampai dengan abad IV Hijriah, baik secar umum maupun secra khusus. Secara umum, faktor prnyebabnya ada dua, yaitu sebgai berikut:

1.      Maula
             Sebagian maula (mantan budak) yang masih kecil semula menjadi tawanan kaum muslimin kemudian dididik secara Islami oleh tuan-tuan mereka, sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu keislaman bersumberkan Al-Qur’an dan hadis. Banyak di antara mereka yang menjadi qari, ahli hadis, dan ilmuwan. Sementara itu, sebagian maula yang masuk Islam sesudah dewasa, maupun mengawinkan pemikiran yang lebih matang dan rasional. Mereka pun mempunyai peranan yang besar dalam poloitik.

2.      Terjemah Buku-Buku Persia dan Romawi
             Pada masa Abu Ja’far Al-Mansyur (khalifah kedua Abbasiyah) samapi dengan amsa Al-Ma’mun bin Al-Rasyid (awal abad III Hijriah) kegiatan terjemahan buku-buku asing, seperti buku Persia dan Romawi semaikin meningkat, terutama kesusastraan Yunani dan pendapat-pendapat Aristoteles. Apa yangb termuat di dalamnya mempunyai peran yang besar dalam membekali pengetahuan bagi ahli kalam dalam menumbangkan ahli hadis pada masa Al-Ma’mun, disamping membantu pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Al-Ma’mun mensukung pemikiran ahli kalam yang menyatakan kemakhlukan Al-Qur’an. Ia juga menjadikan pemikiran ahli kalam sebagai filsafat negara dan memaksa ahli hadis untuk mengakuinya.
             Dua hal di atas merupakan faktor penyebab berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa ini, termasuk perkembangan agama dalam berbgai aspeknya.
             Adapun secara khusus, faktor penyebab perkembangan ilmu pengetahuan dipaparkan sebagai berikut.
1.      Dorongan ajaran agama itu sendiri sebagaimana dikemukakan di dalam sejumlah teks Al-Qur’an dan Hadis.
2.      Kecintaan para khalifah terhadap ilmu pengetahuan. Mereka mendorong ilmu pengetahuan serta mendekatkan para ilmuan dan ulama ke istana. Kecintaan para khalifah ini juga disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
a.       Semangat keilmuan yang diajarkan oleh Islam itu sendiri.
b.      Adanya prestise yang diperoleh dari berkembangnya ilmu pengetahuan dan berhimpun para ilmuan.
c.       Ilmu pengetahuan dan kehadiran para ulama di sekitar istana merupakan sumber legitimasi yang besar bagi kekuasaan para khalifah.
3.      Para cendikiawan dan umat melihat dunia sebagai suatu karunia Ilahi yang harus dimanfaatkan, bukan sebagi sesuatu yang buruk dan harus dijauhi.
Sikap terbuka ini telah membebaskan umat dari konservatisme yang melumpuhkan dinamika. Sikap yang dipegang oleh umat ini telah membuat Islam tidak membatasi diri terhadap peradaban mana pun. Mereka menjadi kreatif dan proaktif dalam mengelola hasil peradaban bangsa lain, sehingga ilmu pengetahuan berkembang pesat.
4.      Dukungan ekonomi altruistis yang memadai dari sektor perwakafan. Pada zaman itu, wakaf memainkan peran penting dalam pengembangan pendidikan dan riset ilmiah. Perguruan-perguruan merupakan tempat belajar ilmu pengetahuan yang gratis, karena di dukung dan wakaf.[20]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
      Tasyri’ pada masa abad II Hijriah sampai dengan IV Hijriah adalah masa Daulah Abbasiyah yang mengalami kemajuan dalam berbagai bidang termasuk dalam bidang hukum Islam atau tasyri’. Bahkan ada yang menyebutkan masa mujtahidin dan masa keemasan ini sebagai masa perkembangan kematangan tasyri’ . pada periode ini, muncul para mujtahid dan ulama besar yang menjadi tokoh istinbath dari berbagai mazhab. Mazhab-mazhab tersebut, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Syafi’i, mazhab Maliki, dan mazhab Hanbali.
      Beberapa faktor yang penyebabnya tasyri’, yaitu faktor politik, perluasan wilayah, perbedaan penggunaan ra’yu, perkembangan ilmu pengetahuan, lahirnya para tokoh mujtahid, dan terbukukannya sumber tasyri’. Sember tasyri’ pada priode ini ada empat,yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
      Penerapan tasyri’ pada masa ini dipegang oleh tabi’in. Mereka selalu menyertai para sahabat yang ahli dalam bidang fatwa tasyri’. Selanjutnya pada pertengahan abad II Hijriah, kekuasaan tasyri’ dikendalikan oleh para imam mujtahid.
      Para penghafal Al-Qur’an bertambah banyak dan tersebar di seluruh wilayah Islam. Di setiap wilayah, terdapat qari dan penghafal Al-Qur’an yang terkenal. Di anatara mereka ada yang menjadi imam qiraah.
      Pada abad III Hijriah, perkembangan pengodifikasian hadis mengalami masa keemasan.
      Secara umum, faktor penyebab perkembangan ilmu pengetahun, ada dua, yaitu maula yang mempelajari hukum Islam sehingga memiliki peran penting dalam bidang politik, serta terjemahan buku-buku Persia dan Romawi yang berkembang amat pesat. Adapun seacar khusus faktor penyebab perkembangan ilmu pengetahaun adalah adanya kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan dukungan dari para khalifah.




                [1] Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ (Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke Masa), cet-1 (Jakarta: Amzah, 2013), hal 83-84.
                [2] Ayi Sufyan, Etika Politik Islam, cet-1 (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal 61.
                [3] Abdul Majid Khon, Ikhtisar. . . hal 84-86.
[4] Rosihan Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, Cet I, (Bandung: Pustaka setia, 2009), hal 188.
[5] Muhammad Ali Ash-shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur’an, Cet I, (Bandung:Pustaka Setia, 1998), hal 258
                [6] Abdul Majid Khon, Ikhtisar. . . hal 86.
                [7] Totol Jumatoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ushul Fiqih, cet-2 (Jakarta: Bumi Aksara, 2009 hal 220.
                [8] Abdul Majid Khon, Ikhtisar. . . hal 87.
                [9] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cet  I, (Semarang: Dina Utama, 1994), hal 18
                [10] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, Cet 3, (Bandung; Pustaka Setia, 2007), hal 59-60.
                [11] Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Cet I, (Bandung: Pustaka Setia, 2009,) hal 165-166.
                [12] Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: Karya Toha Putra, 1978), hal 40.
[13] Abdul Majid Khon, Ikhtisar. . . hal 87-89.
                [14] Qinita Alya, Kamus Bahasa Indonesia Untuk Pendidikan Dasar, (Tp: Indahjaya Adipratama, Tth) hal 446.
[15] Nuruddi, Ulumul Hadist, Cet 1, (Bandung: Rosda Karya, 2012), hal 66.
[16] Abdul Majid Khon, Ikhtisar. . . hal 89-91.
                [17] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, cet-10, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hal 92.
                [18] Abdul Majid Khon, Ikhtisar. . . hal 91-93.
                [19] Subhi As-Shahih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, cet-9 ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), hal 359.
                [20] Abdul Majid Khon, Ikhtisar. . . hal 93-97.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar