pembaharuan hukum islam dan reaktulitas hukum islam

A.    Pengertian Pembaharuan Hukum Islam
1.      Pembaruan Pembukuan Dan Reaktualisasi Masa Islam
             Kata pembaharuan dikenal dengan istilah modernisasi, sekaligus merupakan sinonim dari kata tajdid dan tashlih dalam bahasa arab. Pada masyarakat barat, kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah paham, adat-istiadat, dn intuisi agar dapat disesuaikan dengan keadaan baru yang di timbulkan oleh ilmu pengetahuan mutakhir.
            Pembaharuan hukum Islam berarti gerakan ijtihad untuk menetapkan ketentuan ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru[1].
Paham ini mempunyai pengaruh besar dalammasyarakat dan segera memasuki bidang agama yang di barat dipandang sebagai penghalang bagi kemajuan, modernisasi di barat bertujuan menyesuaikan ajaran-ajaran yang  terdapat dalam agama katholik dan protestan dengan ilmu pengtahuan dan falsafah modern. Aliran ini akhirnya membawa kepada sekularisme di barat
Pembaharuan dalam islam mempunyai tujuan yang sama, Tetapi ada ajaran-ajaran yang bersifat mutlak dan tidak boleh di perbaharui,  seperti  Al-Qur’an dan hadis. Meskipun demikian, interprestasunya  boleh di perbaharui. Begitu pula penafsiran dalam berbagai aspek, seperti teologi, hukum, dan polotik.[2]
Pembaharuan dalam islam timbul sebagai hasil dari kontak dengan barat. Pada abad XIX, Negara-negara barat mengalami kemajuan, sementara kerajaan utsmani mengalami kemunduran. Akibatnya, kerajaan utsmani yang biasanya menang dalam peperangan, mengalami berbagai kekalahan. Hal ini membuat para pembesar, utsmani menyelidiki rahasia kekuatan eropa. Rahasianya terletak pada kekuatan militer modern.
Kekhalifahan utsmani kemudian memulai usaha pembaharuan yang di pusatkan pada bidang militer dengan bantuan para ahli dari eropa. Pembaharuan dalam bidang-bidang lain juga diusahakan, tetapi mendapat tantangan dari berbagai pihak,seperti militer dan ulama. Hal ini disebabkan karena paa zaman itu pertentangan antara islam dan Kristen masih keras. Umat islam masih curiga terhadp aoa yang dating dari barat. Mereka menganggap apa yang dating dari barat hukumnya kafir.
   Gerakan Pembaruan Hukum Islam Pasca Kemunduran
             Sejak abad XVIII masehi, timbul upya untuk melepaskan diri dari taklid setelah timbul kesadaran bersama dan mengetahui adanyakemunduran dalam bidang agama. Oleh sebab itu, muncullah gearkan pembaruan di berbaga i Negara dalam berbagai aspek, bergantung kecenderungan si pembaru melihat kelemahan umat islam. Gerakan pembaruan itu antara lain sebagai berikut.
1.      Di hijaz, pada abad XIII Hijriyah (abad XVIII M) timbul gerakan wahabi yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdu Wahab (w. 1206 H/1787 M) ia  menyerukan pembasmian bid’ah sekaligus mengajak kembali kepada  AL-Qur’an,  sunnah, dan amalan sahabat.
2.      Di libia, Muhammad ibnu sanusi (pernah melawat ke afrika) menyeru masyarakat untuk membersihkan agama dari usaha-usaha infiltrasi musuh islam yang menyisipkan ajaran –ajaran yang menyisipkan ajaran-ajaran yang menyesatkan  dan mengajak kembali kepada AL-Qur’an, sunnah dan amalan ulama salaf.
3.      Di syiria, timbul usaha perbaikan yang bersendi agama yang di bangun oleh AL-Mahdiserta mengajak kembali kepada hukum allah dan Rasulnya.
4.      Di mesir akhir abad XIX atau permulaan abad XX masehi. Muncullah tokoh pembaharuan, seperti jamaludin al-afghani dan syeikh Muhammad abduh.  Mereka berdakwah  mengajak kembali  kepada mazhab salaf dan sumber-sumber islam yang asli. Serta menjauhkan dari bid’ah dan khurapat.corak baru dalam mempelajari fiqh masa ini adalah mempelajari  berdasarkan syariat  sekaligus di sesuaikan dengan perkembangan masa dan masyarakat.
5.      Al-urwah dan majalah al-manar mengummandangkan suara pembaruan ke seluruh dunia sehingga lahirlah ulama baru di setiap negeri.
Semua pembaruan di berbagai Negara terjadi dalamberbagai aspek agama seperti akidah, ibadah, dan akhlak bahkan juga aspek politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Semua  itu menginspirasikan  pembaruan dalam fiqh. Kebangkitan  pembaruan fiqh adalah dengan membuka pintu ijtihad. Ijtihad di jalankan pada periode ini adalah mengambil ijtihad dalam majhab. Ulama dari berbagai majhab mengadakan ijtihad  berdasarkan majhab yang dianutnya. Ijtihat juga di laksanakan dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum tertentu. Ijtihad seperti ini berbentuk fatwa  mengenai  persoalan yang di hadapi. Golongan majhab  hanbali berpendapat  bahwa pintu ijtihad tidak tertutup dan tidak ada yang berhak menutupnya.
Sebaliknya, di kalanganahlussunnah marak berpendapat  bahwa pintu ijtihad  tertutup. Hal ini di tentang oleh pemuka-pemuka pembaru pada akhir abad XIX, seperti al-thahawi, Jamaludin  dan muhmad abduh.mereka melihat bahwa pembaharuan dalam islam tidak mungkin diadakan kalau sikap taklid masih di pertahankan. Mereka berpendapat bahwa dalam usaha pembaruan itu umat islam  harus kembali kepada  AL-Qur’an dan sunnah.pendapat ulama yang disusun seribu tahun yang lalu sudah tidak sesuai lagi dengan zaman modern.
Memang di zaman seribu lima ratus tahun yang lalu, permasalahan tidak serumit  zaman modern.  Oleh karena itu, ijtihad pada masa kini rasa-rasanya  tidak dapat dilakukan secara individuai, tetapi secara kolektif yang di dalamnya  terdapat berbagai ahli  dalam berbagai bidang ilmu. Permasalahan pun hemdaknya ditinjau  dari berbagai aspek, seperti aspek  ekonomi, sosial,demografi, kesehatan, teknologi, dan psikologi. Minsalnya  MUI dengan komisinya  NU dengan Bahtsu al-masailnya, dan muhammadiyah dengan majelis tarjihnya. Sementara itu, kebangkitan fiqh pada masa ini tidak terlepas dari dari tiga hal berikut berikut ini .
1.       Studi fiqh dan ushul fiqh yang menyebar  ke berbagai dunia islam .
2.      Menyusun hukum fiqh dengan mengikuti  system undang-undang tanpa membatasi diri dengan suatu mazhabtertentu.
3.      Membandingkan  berbagai  hukum dari berbagai mazhab (perbandingan mazhab fiqh)
System mempelajari fiqh di masa modern yang di pakai adalah fiqh perbandingan, (fiqh muqarin). Fiqh muqarin ini sangat penting dan mempunyai faedah yang sangat besar  bagi islam, karena akan mempertemukan berbai pendapat yang berbeda dalam bidang fiqh.
2.      Fiqh muqarin
a.       Pengertian fiqh muqarin
Fiqh muqarin ialah ilmu yang mempelajari hukum syara dengan mengemukakan berbagai pendapat dan dalil-dalilnya, kaidah-kaidah yang gunakan, membandingkan antara satu dan lainnya, serta mengambil mana yang  mendekati kebenaran. Setelh abad ke IV hijriyah, ada ulama yang sudah menulis buku tentang perbandingan fiqh. Akan tetapi, pada umumnya mereka hanya membela mazhabnya sendiri dan mematahkan dalil lawanya bukan berdasarkan dalil yang lebih kuat. Di samping itu, ada keraguan dalam memilih mana yang mendekati kebenaran dan sesuai dengan keinginan masyarakat, sementara mereka mengumandangkan fatwa bahwa tidak boleh taklid, kepada selain mazhab empat. Mereka yang taklid kepada salaah satu mazhab, tidak boleh pindah ke mazhab yang lain, kecuali memenuhi persyaratan. Bahkan diantara mereka ada yang pindah. Haris di dera. Hal ini dijelaskan dalam kitab al-durr, al-mikhtar yang dikutip oleh Ash-shiddieqy bahwa barang siapa yang pindah dari mazhab maliki dan mazhab syafi’I, hendaklah didera.[3] Ulma muta’akhirin (kontemporer) pun menetapkan bahwa dalam berijtihad harus mengikuti keputusan ulama mutaqaddimin (klasik).
Fiqh masa kontemporer membandingkan satu pendapat dengan pendapat lain, sekaligus mempelajari dan mendiskusikan dalil-dalilnya untuk memperoleh ketentuan yang sesuai dengan maslahat, sehingga tampak keistimewaannya di bandingkan dengan hukum lain. Oleh karena itu, tidak ada larangan berpindah dari satu mazhab ke mazhab yang lainyang di sebut dengan talfiq. Berikut ini di paparkan definisi talfiq.
Dari segi bahasa, talfiq di artikan dengan menerapkan dua tepi  kain lalu di jahit.[4] Talfiq diumpamakan seperti tindakan menambal-sulam, potongan-potongan kain untuk di jadikan sepotong baju yang utuh. Dengan kata lain, seprti kita mengumpulkan beragam hal dari berbagai tempat kemudian di susun untuk di jadikan sesuatu bentuk yang utuh. Talfiq ialah mengambil pendapat dari seseorang mujtahid lain, baik dalam masalah yang sama maupun berbeda. Dengan kata lain, talfiq ialah memilih satu pendapat dari berbagai pendapat yang berbeda dari kalangan ahli fiqh. Atau, definisi lin ialah menyelesaikan suatu masalah (hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua mazhab atau lebih.
Dari segi hukum boleh tidaknyaa talfiq, bergantung kepada motivasi dalam melakukannya. Motivasi ini di ukur dngan kemaslahatan yang bersifat umum. Kalau motivasinya ingin mempermanikan agama atau mempermudah agama, maka hukumnya tidak boleh. Sementara itu, apabila talfiq dilakukan karena ingin menghindarkan kesulitan dalam beragama, maka boleh dilakukan. Berikut ini adalah perbandingan antara fiqh klasik dan fiqh kontemporer :
a.       Perkembangan fiqh sesuah abad IV hijriyah hanya untuk membela pendapat imam dan mematahkan dalil dari golongan lain. Sementara itu, fiqh pada masa kontemporer mempelajari dalil-dalilnya untuk di munaqasyahkan.
b.      Pada masa klasik, ada keraguan memilih pendapat mana yang mendekati kebenaran. Sementara itu, pada masa kontemporer memilih pendapat untuk memperoleh maslahat dan menampakkan keisttimewaan dari hukum-hukum lain.
B.     Faedah mempelajari fiqh muqarin
Banyak faedah bagi umat islam  dalam mempelajari fiqh muqarin.      Berikut ini adalah faedah-faedah tersebut
a.       Mengetahui sejauh mana persamaannya dengan hukum-hukum positif yang berlaku di dunia. Bagi yang mempelajari fiqh muqarin, akan mengetahui persamaan dan perbedaan pendapat dalam bidang figh. Masing- masing pendapat itu memiliki dalil yang sah, sekaligus kelebihan dan kekurangannya. Kiranya perbandungan ini dapat mendekatkan perbedaan-perbedaan itu dari renggangan dan dapat mengambil mana dalil yang lebih maslahat di tengah- tengah umat yang majmuk ini.
b.      Mendekatkan beberapa mazhab. Mazhab hanyalah metode dalam memahami nash AI-Qur’an dan hadis dalam menjawab berbagai problembaru yang muncul di tengaah-tengah masyarakat. Banyak metode yang di pergunakan ulama untuk mencapai tujuan tersebut. Akan tetapi, ulama yang menciptakan metode tersebut tidak fanatik pada metodenya. Umat islam boleh memilih sebagian dari beberapa metodeyang ada, sehingga mendekatkan umat  dalam membangun persaudaraan dan persatuan
c.       Mengambil mana yang lebih kuat dalilnya beberapa pendapat yang ada, ijtihad adalah peroses penetapan hukum yang menggunakan metode tertentu dan kebenarannya bersifat relative, di antara ijtihad itu ada yang menggunakkan dalil yang kuat da nada pula yang kurang kuat, sekalipun umat islam boleh memilih mazhab , ulama hendaknya memprioritskan dalil yang kuat , sehingga tidak di artikan mempermudah agama.
d.      Cenderung kepada maslahatan umat , perbedaan ulama dalam menentukan hukum biasanya pada masalah-masalah cabang bukan masalah pokok da tidak menyangkut masalah wajib. Sementara itu, persatuan umat adalah sesuatu yang wajib dalam menyikapi perbedaan tersebut, umumnya ulama lebih mengutamakan perbuatan wajib, yaitu masalah untuk persatuan umat dari pada perbuatan sunnah  yang merusak kewajiban, tentunya disini memelukan akhlak yang mulia dalam pergaulan antara sesama umat islam.
e.       Timbul usaha membukukannya perbandingan hukum-hukum syari’at. Salah satu bukhukum-hukum syariat  adalah al-fiqh , a’la al-madzahib, al-arba’ah. Bahkan, menjadi mata kuliah di
f.       undang-undang muncul sejak abad II hijriyah , yaitu pada masa Abbasiyah. beberapa perguruan tinggi yang di sebut dengan perbandingan mazhab. Ini semua dalam rangka pembukuan dan mencari titik temu dari berbagai mzhab agar umat mampu meningkatkan toleransi antar sesame mereka.
C.    Menyusun fiqh dengan mengikuti system undang-undang
            Usaha dalam penyusunan fiqh dengan mengikuti system Usaha ini bahkan telah muncul pada awal hijriyah, tetapi baru pada batas-batas tertentu. Dengan demukian, hal ini sama sekali bukan hal yangbaru. Berikut ini berkembangan penyusunan fiqh dari abad II sampai dengan abad XIII hijriyah.
1.      Pada abad II hijriyah , Abdullah bin AL-mukaffa’ (w.144 H) mengusulkan kepada abu ja’far al-mandhur untuk menyusun undang-undang yang berlaku untuk seluruh wilayah islam  yang di ambil dari AL-Qur’an dan hadis. Apabil tidak ada nash yang menjelaskan mengenai permasalahan tertentu, maka diambil dari ra’yu dengan memerhatikan
Kaidah-kaidah umum dan maslahat umat meskipun demikian , usul ini di tolak.
2.      Pada tahun 148 hijriyah, yaitu ketika Abu ja’far al-manshur berhaji, ia meminta kepada imam malik agar umat islam bermazhab kepedanya. Akan tetapi, permintaan itu ditolak. Permintaan yang sama di ulang lagi pada tahun 163, tetapi kembali di tolak.
3.      Pada masa pemerintahan harun al-rasyid (170-193 H), ide untuk bermazhab dengan mazhab maliki muncul kembali. Ia minta agar ide tersebut di setujui, tetapi imam malik kembali ditolak. Dalam hal ini ada perbedaan antara keinginan khalifah  Abdullah bin al-muqaffa. Khalifah mengharafkan agar kitab al- muwaththa’ karya imam malik menjadi pegangan para hakimdi berbagai kota. Sementara itu, Abdullah bin al-muqaffa’ tidak ingin ada mazhab yang di pilih demi kemaslahatan masyarakat yang mejemuk.
4.      Pada abad XI sultam Muhammad alim kir di india (1008-1018 H) membentuk panitia yang di pimpin syeikhnizham. Mereka menyusun  sebuah kitab yang di ambil dari mazhab hanafi dan di beri nama fatwa hindiyah . akan tetapi , kitab ini tidak resmi dan sistemnya tidak seperti undang-undang.
5.      Pada abad XI hijriyah , pemerintahan utsmaniyyah menyusun hukum-hukum muamalah madaniah dan undang-undang berdata yang di ambil dari mazhab hanafi dengan memerhatikan maslahat  pada waktu itu, undang-undang terdiri atas 1851 pasal. Sebagian hukum di ambil dari pendapat yang kurang kuat, karena adanya maslahat  umat pada masa itu.
6.      Pada tahun 1326 hijriyah, disusunlah undang-undang keluarga berdasarkan mazhab hanafi. Dengan ini kita dapat menganggap bahwa utsmanniyyah yang mulu-mula melaksanakan ide Abdullah bin al-muqqaffa ‘ dalam membentuk buku undang-undang fiqh[5].
7.      Pada tahun 1920 masehi. Pemerintah mesir menyusun undang-undang no.25 tahun 1920 tentang hukum keluarga (ahwal syakhsiyyah). Sebagiaan dari hukum tersebut ada yang berbeda dengan mazhab hanafi, tetapi tidak keluar dari mazhab hanafi, tetapi tidak keluar dari mazhab empat. Hal ini dilakukan karena adanya protes masyarakat bahwa mahkamah  syariah hanya menetapkan hukum berdasarkan mazhab abu hanafi.
8.      Pada tahun 1929 masehi, mesir melangkah lebih jauh dari sebelumnya dan lebih kompromistis dengan menyusun undang-undang No. 25 tahun 1929. Undang –undang ntersebut mengandung sebagian hak keluarga yang membedakan madzhab hanafi dengan madzhab empat, tetapi tetap tidak keluar dari madzhab empat.
9.      Pada tahun 1936 masehi, pemerintah mesir melakukan pembaruan undang-undang yang lebih komperhensif yang dihadiri oleh ulama hukum islam dan hukum Negara untuk merumuskan undang-undang keluarga dan cabang-cabangnya, seperti wakaf, harta warisan, dan wasiat yang di tangani oleh mahkamah syariat dan majelis hisab. Perundang-undangan yang dirumuskan tidak terikat dengan salah satu mazhab, tetapi diambil dari mayoritas pendapat fuqaha yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkembangan sosial.[6] Perundang-undangan ini berlaku di mesir sampai sekarang sebagai undang-undang syar’I untuk mencapai kemaslahatan dan sesuai  dengan perkembangan zaman. Sekalipun tidak diambil dari mazhab terdahulu, undang-undang ini tidak bertentangan dengan al-quran dan sunah.
Pembaharuan itu dapat terjadi dalam tiga bentuk atau tiga kondisi.
1.   Apabila hasil ijtihad lama itu adalah salah satu dari sekian keboleh-jadian yang dikandung oleh suatu teks Al-Qur’an dan hadith. Dalam keadaan demikian, pembaharuan dilakukan dengan mengangkat pula keboleh-jadian yang lain yang terkandung dalam ayat atau hadith tersebut. Contoh, Jumhur ulama telah menetapkan tujuh macam kekayaan yang wajib zakat, yaitu emas dan perak; tanam-tanaman; buah-buahan; barang-barang dagangan; binatang ternak; barang tambang; dan barang peninggalan orang dahulu yang ditemukan waktu digali. Ketujuh macam kekayaan yang ditetapkan wajib zakat itu berkisar dalam ruang lingkup keboleh  jadian arti.[7]
(sebagaimana dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu). Pendapat yang menetapkan penghasilan yang datang dari jasa dikenakan zakat, sebagaimana telah dijelaskan, juga tetap berkisar dalam ruang lingkup keboleh-jadian arti teks Al-Qur’an di atas.
2.  Bila hasil ijtihad lama didasarkan atas ‘urf setempat, dan bila ‘urf itu sudah berubah, maka hasil ijtihad lama itupun dapat diubah dengan menetapkan hasil ijtihad baru yang berdasarkan kepada ‘urf setempat yang telah berubah itu. Contohnya hasil ijtihad mengenai kepala negara wanita. Hasil ijtihad ulama terdahulu menetapkam wanita tidak boleh menjadi kepala negara, sesuai dengan ‘urf masyarakat Islam masa itu yang tidak bisa menerima wanita sabagai kepala negara. Dengan berkembangnya paham emansipasi wanita, ‘urf masyarakat Islam sekarang sudah berubah, mereka sudah dapat menerima wanita sebagai kepala negara. Hasil ijtihad ulamapun sudah dapat berubah dan sudah menetapkan bahwa wanita boleh menjadi kepala negara.
3. Apabila hasil ijtihad lama ditetapkan dengan qiyas, maka pembaharuan dapat dilakukan dengan meninjau kembali hasil-hasil ijtihad atau ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan dengan qiyas dengan menggunakan istihsan. Sebagaimana diketahui, penetapan hukum dengan istihsan merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum yang dihasilkan oleh qiyas dan metode-metode istinbat hukum yang lain. Contohnya hasil ijtihad tentang larangan masuk masjid bagi orang haid yang diqiyaskan kepada orang junub karena sama-sama hadath besar. Ada ulama yang merasa qiyas di atas kurang tepat karena ada unsur lain yang membedakan haid dengan junub, walaupun keduanya
D. Metode Fuqaha Dalam Ber-Istidhal
Mazhab ahlussunah yang paling banyak menggunakan ra’yu adalah mazhab hanafi dan  yang paling sedikit menggunakannya adalah mazhab dawud bin ali al-zhahiri. Adapun yang erda ditengah-tengah adalah mazhab syafi’I, maliki, dan hanbali. Dalam berijtihad dan ber-istidhal, fuqaha menggunakan 2 cara, yaitu sebagai berikut :
3.      Jika ada nash, menggunakan thariqah tahliliyyah ( deduktif), yaitu menganalisis semua masalah yang berhubungan dengan nash. Nash sebagai kaidah dasar yang pokok kemudian ditafsirkan dan dikeluarkan konklusinya sebagai hukum furu’
4.      Jika tidak ada nash, menggunakan thariqah istiqra’iyyah ( induktif), yaitu meneliti dengan cermat segala hal yang berkaitan dengan masalah dan mendalami penyelidikannya, kemudin berijtihad dengan qiyas atau dalil yang lain[8].
Perbedaan antara mazhab itu hanya dalam masalah furu’, yaitu dalam penerapan dasar hukum kepada objek-objek masalah ( qadhiyyah ‘amaliyyah). Perumpamaannya seperti perbedaan hakim dalam memberi vonis terhadap terdakwa atau tergugat. Mereka memakai undang-undang yang sama, tetapi berbeda dalam menginterpretasikannya.
          Demikian juga perbedaan fuqaha dalam menerapkan hukum dan menginterprestasikan nash atau kaidah terhadap masalah yang dihadapi. Misalnya, semua fuqaha sependapat bahwa kewajiban perampas harta orang lain adalah mengembalikan harta tersebut. Apabila barang itu hilang atau rusak, perampas juga harus mengganti barang yang serupa dan seharga. Jika tidak bisa, perampas harus membayar harganya. Akan tetapi, harga barang bisa jadi berubah sesuai perkembangan zaman. Mengenai hal ini, para imam mazhab berbeda pendapat.
a.       Ulama hanafiyyah berpendapat bahwa perampas harus membayar harga ketika barang itu dirampas.
b.      Ulama hanabulah berpendapat bahwa perampas harus membayar harga ketika barang hilang atau rusak ( ditangan perampas).
c.       Ulama syafi’iyyah berpendapat bahwa perampas harus membayar harga yang paling tinggi.
Ringkasannya, semua ulama mazhab sepakat bahwa perampas wajib mengembalikan barang  yang dirampas. Jika barangnya rusak, ia wajib mengembalikan harganya. Perbedaan antara mereka hanya pada masalah perinciannya.
            Ringkasnya, semua ulama mazhab sepakat bahwa perampas wajib mengembalikan barang yang dirampas. Jika barangnya rusak, ia wajib mengembalikan harganya. Perbedaan antara mereka hanya pada masalah perinciannya.
Pembaharuan hukum syari’ah, Dalam the call to apply shari’a law, amin berupaya meyakinkan kaum muslimin bahwa ketetapan dan peraturan syari’ah bisa berkembang. Dia mengutip contoh-contoh histos yang menunjukkan bahwa ketetapan syari’at yang sama di terapkan secara berbeda dan dalam masyarakat yang berbeda pula. Dia juga menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan qurani dan sunnah rasul sering di singkirkan. Minsalnya, paea pukaha telah menempatkan ketetapan yang berbeda untuk masalah pernikahan di masa muslim yang berbeda untuk masalah pernikahan di masyarakat muslim yang berbeda-beda.
Amin juga memunculkan pertanyaan mengenai ketidak sesuain beberapa hukum syari’ah, seperti memotong tangan pencuri, dan menunjukkan bahwa, paea fukaha memakai berbagai dalil untuk menghindari penerapan hukum ini dari pada menghapuskannya. Oleh kaum perempuan muslim.[9]
            Untuk membuktikan hukum syari’ah dapat berubah. Amin memberi contoh mengenai hukuman bagi pengguna alkohol, meskipun AL-Qur’an tidak menentukan hukumhn apapun bagi pemakai aikohol ini, selama masa rasul seseorang yang melanggar  ketentuan hukum ini di cambuk, dan meskipun khulafa’ al-rasyidun di tuntun oleh al-Quran dan mereka segera mengetahui ajaran-ajaran rasul secara langsung, tetapi mereka melampaui hukuman yang di tentukan oleh sunah rasul (Amin 1987: 201). Abu bakar menetapkan dera bagi para pelanggar sebanyak empat puluh cambukkan, dan umar bin khattab meningkatkan menjadi 60 cambukkan. Umar juga menghapuskan pernikahan sementara (mut’ah) yang telah menjadi ikatan perkawinan islam yang lajim di terima waktu itu.
            Ketika bani umayyah memperluas wilayah daral-islamyang masih muda ini, para hakim mereka memasukan banyak hukum adat (urf) dari masyarakat yang baru saja di taklukkan, dan hukum ini di jelaskan kepada hukum untuk mengikuti ketentuan al-quran ataupun tidak (Amin 1987:202).
            Contoh lainnya adalah ketetapan mengenai pernikahan, berkaitan dengan peraturan-[eraturan syar’iyang bebeda-beda yang di kembangkan di berbagai masyarakat. Minsalnya, abu hanifah di Baghdad yang merupakan komunitas campuran arab, Persia, dan turki, menetapkan peraturan tentang kafaah (kesertaan) dalam hal kekayaan dan status dalam akad perkawinan. Sementara di madinah, yang tersusun atas masyarakat yang lebih  homogeny, peraturan pernikahan seperti itu tadi tidak di butuhkan. Untuk sebuah alas an yang sama, budak tidak memiliki ha katas kekayaan di Baghdad, sementara di maddinah mereka memilikinya.
            Menurut Amin, dari era umayyah dan abbasiyahhingga berlanjut sampai hal ini, syari’ah belum di patuhi  meskipun masyarakat hanya menerima syari’ah dan meskipun pemerintah menyatakan bahwa mereka menghormati dan memegang teguh syari’ah, mereks pun sungguh takut pada syari’ah, karena syari’ah mewakili pengawasan atas kewenangan politik mereka (Amin 1987: 207).
Para ulama membela syari’ah karena syari’ah mengangkat kekuasaanya, namun alih-alih menghadapi persoalan yang membuat beberapa peraturan syari’ah yang di terapkan, dan merumuskan hukum-hukum islam yang baru, mereka mengelaborasi semua dalil untuk menghindari penerapannya.
Minsalnya mengembangkan trik hukum (al-hilah) bahwa seorang istri yang di talak, yang suaminya telah tiga kali mengucapkan talak secara sembarangan, secara sah bisa menikahi kembali bekas suami sebelumnya jika si perempuan mengikuti formalitas hukum dari akad pernikahan dengan seorang laki-laki lain yang menceraikanya segera sesudah itu. Akad khusus itu juga dijadikan alat guna mendapatkan bunga atas dana pinjaman tnpa melanggar formalitas hukum syari’ah. Terik hukum juga dilakukan guna menghindari haqq a-syuf’ah(hak memiliki lebih dahulu bagi seorang kawan atau tetangga untuk membeli saham kawan/tetangga). Karya hukum dari imam hanafi dan imam syafi’I penuh denga terik hukum ini, yang di rancang untuk menghindari hukum syari’ah dalam keadaan dimana hukum syari’ah tidak bisa di terapkan (Amin 1987: 205).
            Menurut Amin, para pemikir, kaum pembaru, dan uluma sebagiannya menghadapi teks al-quran dengan jujur, dan dari pada membuat aneka dalil dan menggunakan terik hukum, sebagiannya mereka menggembangkan perudang-undangan baru yand di ilhami oleh semangat islam (Amin 1987: 195-6). Untuk menegaskan padangan ini, dia mengambil contoh al-quran yang mewajibkan bahwa hukuman bagi para pencuri adalah potong tangan (Q.S. 5: 38). Rasul  Menmbenarkan hukuman ini, dan diriwayatkan telah mengatakan: “seandainya Fatimah binti Muhammad itu mencuri , niscaya Muhammad akan momotong tamgannya .” Amin menunjukkan bahwa ketika implikasi sosial dari pencurian itu berubah dari situasi di masa  pra-islam, alih-alih secara terus-terang menghadapi  masalah ini mengundang hukum yang baru, para fuqaha malah membuat berbagai dalih dan menggunakan muslihat untuk menghindari penetapan hukum ini.    
            Dalam masyarakat pra-islam , tindakan pencurian mempunyai dampak yang serius. Minsalnya, di gurun, mencuri unta seseorang sebagai sumber persediaan air dan makanan bagi pemilik unta, berakibatkan kematian si pemilik unta, dan pencurian unta akan mengakibatkan peperangan dan pertikaian suku yang menahun. Hukuman keras di butuhkan untuk menghentikan peperangan suku ini dan menyatukan bangsa arab kedalam sebuah bangsa islam. Dengan menyebarnya islam, orang arab lalu memerintah propinsi-propinsi baru, dan batang tak bergerak menjadi lebih penting dari pada barang bergerak. Hal ini sangat merubah implikasi pencurian. Para puqaha lalu secara beragam menyusun definisi apa yang merupakannya pencurian dan penggelapan. Mereka tidak secara jujur menghadapi teks al-quran dan sunnah rasul, dan menerima pendapat bahwa hukum-hukum baru yang sesuai di butuhkan untuk mengakomodasi implikasi-implikasi baru dalam hal pencurian barang bergerak.
Dengan demikian, guna untuk menghindari pemotongan sang pencuri, mereka menerapkan 38 syarat untuk mengeluarkan banyak perbuatan dari kategori pencurian, dan mendukung syarat-syarat ini dengan mempabrikasi hadis. Beberapa contoh kasus dimana tindakan tersebut di kecualikan dari hukuman potongan tangan adalah mencuri buku untuk tujuan belajar, mencuri alat-alat musik, binatang atau ungagas dan korupsi dana public  ( karena sang koruptor memiliki bagian di dalamnya).
 Kemiskinan, dan mencuri semasa musim panas dan dingin yang hebat juga membebaskan pencuri dari  hukuman amputasi  (Amin 1987: 216). Di mesir, menurut Amin, komite parlemen dibentukbeberapa tahun lalu untuk menyelidiki persoalan penerapan hukun syari’ah, komite ini, komentarnya, seharusnya menyadari  bahwa kejhatan penggelapan dana publik akan menyebabkan pertikaian yang sama sebagaimana pencurian unta pada masa jahiliyah.
            Untuk maksud modernisasi hukum syari’ah Amin mendapatkan manfat besar dalam konsep consensus (ijma’), sumber ketiga dari syari’ah. Ketika masalah-masalah sosial berbeda pada masa yang berbeda dan dalam masyarakat yang berbeda, konsensua dari pemegang otoritas keagamaan bisa menangani maslah-masalah baru. Ini juga menjadi bagian ketetapan consensus yakni jika orang-orang mengikuti praktek-praktek ketentuan untuk masa waktu yang cukup panjang, praktek ini menjadi bagian dari sunnah. Minsalnya, hungga abab ke-8 islam, peringatan mauled Nabi di anggap sebagai bid’ah, namun kini peringatan itumenjadi bagian dari kehidupan dan budaya islam.
            Amin juga menganggap fenomena kembali kepada jilbab sebenarnya di awali setelah kekalahan arab dari Israel pada juni 1967. Dia mengaitkannya dengan kemerosotan ekonomi dan politik. Rezim Nasser , katanya menghancurkan ikatn keluarga, mengaburkan batas-batas kelas, dan akibatnya kekayaan menjadi sarana untuk mendapatkan status sosial. Kekelahan 1967 menghancurkan kepercyaan masyarakat pada pemerintahan dan keputusan-keputusan mereka, dan bersama-sama dengan merosotnya kondisi-kondisi sosialdan ekonomi, kekalahan iyu merusak kehidupan masyarakat.
Munculnya kaum islam militant merupakan respons terhadap kondisi kesulitan ekonomi yang di hadapi lapisan masyarakat miskin. Kelas menengah dan kelas pekerja, menurut amin, adalah kelas-kelasyang rusak oleh rezim Nasser dan kebijakkan pintu terbuka  (open door policy) sadat. Dia menyatakan bahwa  perempuan kelas menengah mengenakan kerudung untuk menendakan kedudukkan mereka dari ancaman terhadap status sosial mereka, dan untuk menjauhkan diri dari kejehatan di seputar mereka  (Amin 1987:229-36).
            Amin menegaskan bahwa pengenaan kerudung  (jilban) bukanlah teradisi islam, dan hingga hari ini di kenal di bagian-bagian lain dunia bagian diri ritus keagamaan (pertimbangan, minsalnya, tradisi memakai mantilla dalam dalam perosesi keagamaan di spanyol) (Amin 1987: 243). Lalu dia membahasperkembangan penggunaan kata hijab (kerudung) dalam al-quran.
 Kata itu bersal dari periode mekkah untuk memaknai bahwa kaum kafir terlepas dari allah (Q,S.83: 14), dan untuk mengacu kepada fakta bahwa ketika Maryam mendapati dirinya dalam keadaan hamil dia hidup dalam pingitan (Q.S. 19:  15-16). Amin menberikan semua penggunaan kata al-quran dalam persoalan di masa ini mekkah (Amin 1987: 243-4), dan menyatakan bahwa kata hijab di pakai hanya sekali di masa madinah (Q.S. 33: 7), Dimana kata itu mengacu hanya kepada istri-istri rasul, yang kepedanya kaun pria hendaknya berbicara dari belakang tirai.
            Teks-teks al-quran yang berkaitan tentang tatakrama kaum perempuan adalah ayat-ayat madinah. Dalam Q.S. AL-ahjab(33): 32-34 mengacu hanya kepada istri-istri rasul, dan dalam surat ini, serta dalam Q.S. an- nur  (24): 60, perilaku yang pantas di anjurkan debat mengenai persoalan kerudung kaum perempuan berfokus pada surat 33: 59, yang ditunjukkan kepada istri-istri rasul, dan ayat 31, dalam surat 14, yang di tunjukan kepada kaum perempuan yang beriman.
            Menurut penelitian Amin, perinth dalam ayat ini mengacu pada fakta bahwa perempuan pada waktu itu biasanya mengenakan baju yang mempunyai belahan besar di baeah leher dan memperlihatkan payudara sementara menutup kepala hanya tersampir di pundak. Jadi mereka di anjurkan untuk menarik kerudungnya kedepan untuk menutupi payudaranya. Ayat-ayat al-quran ini menganjurkan, namun tidak mengenakan hukuman apaun baik di dunia ini maupun di akhiratnanti (Amin 1987: 248). Amin selanjutnya menegaskan bahwa seandainya jilbab di maksudkan untuk menutupi wajah,berarti sebagian besar fuqaha tidak akan membiarkan pelepasanya. Dia juga menyatakan bahwa karena perbudakan kini di larang. Berarti sarana perbedaan antara budak dan perempuan merdeka tidak lagi di butuhkan.
            Dalm halaman pembukuan ketiganya, islam in a changing world, Amin membandingkan superioritas peradaban muslim dengan peradaban eropa selama periode perang salib. Dia selanjutnya mencatat kemerosotan kaum musliminketika mereka menganggap pasti siperioritasnya, sementara eropa tumbuh menjadi lebih superior dari pada mereka  (Amin 1988: 5-6). Dengan demikian, dalam tiga bab pertamanya, amin menggambarkan dampak perjuangan perancis pada tahun 1798 atas mesir, dan kesadaran orang mesir atas sekat antara diri mereka dengan prestasi ilmiyah, teknologis, dan militer prancis yang maju.
 Lalu al-jabarti, seorang pencatat sejarah ( chronicle) mesir, mencatat bahwa dia tidak memiliki kebanggaan atas dirinya kecuali keimanannya dalam islam (amin 1988:7). Amin mengakhiri bukunya dengan suatu tulisan kreatif dalam bentuk sindiran (satire)dan sandiwara pendek (bab 19 dan bab 20). Sindiran ini menggabungkan sebuah manifesto dari seorang pemimpin revolusi islam dan ketertindasan yang akan diderita orang-orang di bawah pemerintahan yang demikian ini sandiwara pendeknya mengangkat persoalan yang sama.






[1] Mukti ali, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Akhmad Dahlan, dan Muhammad Iqbal. (Jakarta : Bulan Bintang, 1990) hlm 78


[2]Abdul Masjid Khon, 2013, IkhtisarTarikhTasyri, Jakarta: paragotama jaya hal 165
[3] T.M Hasbi Ash shiddieqy, pengantar ilmu fiqh, (jakarta : bulan bintang, 1997), cet ke 2 hlm 92

[4] Mahmud yunus, kamus arab-indonesia,(jakarta : hinda karya agung, 1990) hlm 399
[5] T.M hasbi ash shiddieqy, pengantar fiqh, hlm. 93-94
[6] Abdul wahab khallaf, khudashah tarikh tasrik al islami ( ramdhani : solo 1974) hlm 103
[7] Hudhari bi,tarjamah tarikh tasrik al-islami,(darul ikhya indonesia, semarang : 1980) hlm 107
[8] Hudhari bi,tarjamah tarikh tasrik al-islami,(darul ikhya indonesia, semarang : 1980) hlm 115

[9] Syahid ahmad kan,2000, Pemikiran Islam, Jakarta: Erlangga hal 90

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar