sejarah perkembangan ilmu Fiqh

BAB II

PEMBAHASAN

1. Sejarah Perkembagan Ilmu Fiqh
Para Ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqh kepada beberapa periode, yaitu:
Pertama, periode pertumbuhan, dimulai sejak kebangkitan (Bi’tsah) Nabi Muhammad sampai beliau wafat (12 rabiul awal 11H/8 Juni 632). Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan[1].
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan, walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.
Kedua, periode sahabat dan tabi’in mulai dari khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) sampai  dinasti Amawiyyin (11H-101H/632-720). Sumber fiqih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam. 
Ketiga, periode kesempurnaan, yakni periode imam-imam mujtahid besar dirasah islamiyah pada masa keemasan Bani Abbasiyah yang berlangsung selama 250 tahun (101H-350H/720-961M). Periode ini juga disebut sebagai periode pembinaan dan pembukuan hokum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum islam dilakukan secara intensif, baik berupa penulisan hadis-hadis nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-Qur’an, kumpulan pendapat-pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul fiqh. 
Diantara factor lain yang sangat menentukan pesatnya perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut:
  1. Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap ilmu fiqh khususnya.
  2. Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-diskusi ilmiah diantara para ulama.
  3. Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-Qur’an (pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (w.68H) dan muridnya Mujahid(w104H) dan kitab-kitab lainnya.
Keempat, periode kemunduran-sebagai akibat dari taqlid dan kebekuan karena hanya menyandarkan produk-produk ijtihad mujtahid-mujtahid sebelumnya-yang dimulai pada pertengahan abad keempat Hijriah sampai akhir 13H, atau sampai terbitnya buku al-Majallat al-Ahkam al-‘Adliyat tahun 1876M. 
Kelima, periode pembangunan kembali, mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang. Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka sudah berlangsung semakin lama itu. Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, social, dan gerakan intelektual lainnya.[2] 
2. Pembukuan Ushul Fiqh
Salah satu yang mendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum. 
Dengan disusunnya kaidah-kaidah syar’iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh.Dikatakan oleh Ibnu Nadim bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada kita.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam,             
  Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri” kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-Risalah”. Namun demikian terdapat pula pendapat dari kalangan syiah yang mengatakan bahwa Imam Muhammad Baqir adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih.[3] 
Sebenarnya, jauh sebelum dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih.
Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan lagi. Namun yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis besar ada dua teori penulisan yang dikenal yakni:
Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahit dan meng-istinbat hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh Al-Qur’an-syafi’i dalam kitabnya ar-risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab seperti ini belum ada sebelumya, menurut ijma’ ulama dan catatan sejarah (sulaiman:64).[4]
3. Pentadwinan Fiqh dan Ushulnya
 Arti Tadwin
Tadwin ialah membukukan atau mencatat segala rupa berita dan kejadian didalam suatu buku, tidak cukup dengan lafaz saja. Orang-orang Arab Hijaz adalah ummiyun, yaitu tidak pandai membaca dan menulis apalagi mengenal kaidah-kaidah memberi titik, memberi garis, dan lain sebagainya. Lantaran inilah kebanyakan ulama Arab berpegangan kepada lafadz dan kekuatan ingatan sehingga tidak membutuhkan tulisan. Dan karena itu pula Nabi SAW pada mulanya menolak untuk membaca apa yang dikemukakan Jibril.
Fiqh pada mulanya merupakan fatwa-fatwa dan pendapat-pedapat sahabat, hukum peristiwa-peristiwa yang tumbuh di masa-masa mereka. Semua ini tidak didewankan dimasa sahabat sendiri. Para sahabat tidak bermaksud supaya pendapat mereka dianut terus oleh orang-orang yang datang sesudah mereka. Mereka terus menerus menyelami nash-nash Al-qur’an dan memahami lafadh-lafadhnya sesuai dengan pekembangan masa dan masyarakat.
Diantara karya-karya yang ditinggalkan pada masa Imam-imam Mujtahid ini, antara lain:
a.       Pembukuan Ilmu Fiqih dan pendapat-pendapatnya.
b.      Dibukukannya Ilmu Ushul Fiqh.

4.    Aliran dalam Ushul Fiqh
Ada 3 aliran dalam sejarah Ushul Fiqh. Ketiga aliraran itu ialah :
1. Aliran Syafi’iyah (aliran mutakallimin)
Aliran ini sering dikenal dengan Aliran Mutakallimin (ahli kalam), aliran ini disebut sebagai Syafi’iyah karena Imam Syafi’i merupakan tokoh pertama yang menyusun Ushul Fiqh dengan menggunakan system ini. Dalam metode pembahasanya didasarkan pada nazari, falsafah dan mantiq, dan tidak terikat pada madzhab tertentu, karena itulah aliran ini disebut sebagai aliran mutakallimin.
Dalam penyusunan Ushul fiqih, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah  dengan didukung oleh alasan yang kuat yaitu dari dalil aqli dan naqli, tanpa dipengaruhi oleh masalah furu’ dan madzhab, dan menfokuskan perhatian pada masalah teoritis, sehingga aliran ini sering tidak dapat menyentuh permasalahan praktis. Aliran ini membangun Ushul Fiqh secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh cabang-cabang keagamaan. Aspek bahasa dalam aliran ini sangat dominan seperti penentuan tentang tahsin (menggangap sesuatu itu baik dan dicapai akal atau tidak). Dan taqbih (menggangap sesuatu itu buruk dan dapat dicapai akal atau tiadak). Biasanya hal ini berkaitan dengan hakim, yang berkaitan pula dengan masalah aqidah[5].
2. Aliran Hanafiyah
Aliran yang banyak dianut oleh ulama pengikut madzhab Hanafi ini, dalam menyusun teorinya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ yang ada dalam madzhab mereka. Aliran ini berusaha menerapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu. Apabila sulit diterapkan, mereka mengubah atau membuat kaidah baru yang bias diterapkan dalam masalah furu’ tersebut. Inilah yang menjadi cirri khas aliran Hanafiyah, bahwa semua kaidah Ushul Fiqh mereka, semuanya dapat diterapkan. Ini logis karena penyusunan Ushul Fiqh mereka telah terlebih dahulu disesuaikandengan hukum furu’ yang terdapat dalam mazhab mereka.
3. Aliran Muta’akhirin
Aliran ini mengabungkan antara kedua system yang dipakai dalam menyusun Ushul Fiqh oleh aliran Syafi’iya dan Hanafiyah. Ulama’-ulama’ muta’akhirin melakukan tahqiq terahadap kaidah-kaidah ushuliyah yang dirumuskan kedua alirn tersebut. Lalu mereka meletakkan dalil-dalil dan argumentasi untuk pendukungnya serta menerapkan pada furu’ fiqhiyyah.
Aliran ini diikuti oleh Ulma-ulama yang berasal dari kalangan  Syafi’iyah dan Hanafiyah. Dan perkembangan terakhir penyesuaian Ushul Fiqh, tampak lebih banyak mengikuti cara yang ditempuh oleh aliran ini.

5. Tokoh Ushul Fiqh
  1. Imam Syafi’i
Imam Syafi’i merupakan orang yang pertama kali membukukan ilmu Ushul Fiqh. Ia mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab, sehingga masuk dalam jajaran tokoh ahli bahasa, selain merupakan seorang ahli hadis yang ternama, ia juga cakap dalam menyelesaikan permasalahan-parmasalahan fiqh yang terjadi saat itu.
Penguasaan imam Syafi’i terhadap fiqhahli ra’yi serta pendapat-pendapatpara sahabat dijadikan landasan dalam menetapkan kaidah-kaidah qiyas dan juga sebagai dasar untuk menetapkan kaidah-kaidah dalam menggali hukum. Dalam hal ini bakan berati beliau yang menciptkan seluruh kaidah tersebut, tetapi hanyalah menganalisis secara mendalam metode penetapan hukum yang telah dipakai oleh ulama ahli fiqh yang belum sempat dibukukan. Jadi dia bukanlah yang menciptkan metode penggalian hukum syara’ (ushul fiqh) tersebut, akan tetapi dialah orang yang pertama kali menghimpun metode-metode tersebut dalam suatu disiplin ilmu yang hubungan bagian-bagiannya tersusun secara sistematis.
b. Imam Baihaqi
Adalah seorang Ulama ahli fiqh, ushul fiqh, hadis dan seorang tokoh utama dalam madzhab Syafi’i. Ia dilairkan di Khasrujard, Baihaq, yaitu di Naisabur Persia. Ia mempelajari Hadis dan mendalami Fiqh Madzhab Syafi’I, dandalam hal Akidah mengikutiMadzhab Asy’ari. Dalam pencarian ilmunya ia mendatangi para Ulama di Baghdad, Kufah, dan Makkah, sebelum akahirnya kembali ke-Baihaqi. Imam Baihaqi kemudian mengajar di Naysabur, dan menjadi orang pertama yang mengumpulkan naskah-naskah fiqh Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Mabsuth, sekaligus menjadi penyebar fiqh mazhab Syafi’i.
“Tidak ada pengikut mazhab Syafi’i yang mempunyai keutamaan melebihi Baihaqi, karena karyanya dalam mengembangkan mazhab dan pendapat Syafi’i”.
3. Imam  Al-Ghazali
Abu Hamid Al-Ghazali yang selanjutnya disebut Al-Ghazali, lebih dikenal sebagai hujjat al-Islam wa al-Muslimin, karena dedikasinya yang tinggi dan karya-karyanya dalam mengembangkan pemikiran Islam di berbagai bidang. Lebih darilima puluh kitab hasil karyanyadalam katalogisasi kitab klasik, baik dalam bidang teologi, filsafat,tasawuf maupun ilmu fiqih.
Faktor lain yang mendukung munculnya gagasan baru Ghazali juga karena sudah tidak ada tokoh yang paling berpengaruh pada Ghazali, Imam Haramain. Dengan demikian kesempatan Ghazali untuk merefleksikan ide-idenya dalam ushul fiqh menjadi sebuah kenyataan. Pola yang dikembangkan oleh Ghazali berbeda dengan karya-karya sebelumnya[6].
Ushul fiqh sebelum pembukuan Penarikan hukum melalui istidlal baru dilakukan generasi sahabat setelah Nabi meninggal, dengan kaidah-kaidah, walaupun tidak mereka jelaskan secara lugas. Kaidah-kaidah tersebut merupakan malakah yang melekat erat dengan mereka, karena kemurnian dan kedalaman pengetahuan/penguasaan bahasa, maqashid syari’ah, asbab al wurud dan asbab al nuzul, serta cara berpikir yang masih bersih. Apalagi mereka dididik secara langsung oleh nabi Saw. dan mengalami masa penurunan wahyu.

6. Metode Penulisan Ushul Fiqh
Metode (Thariqah) Penulisan Ushul Fiqh Sebelumnya perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;
a. Metode mutakallimin
Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika (mantiqy), teoretik (furudl nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu’. Tujuan mereka adalah mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode ini memiliki kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq al masail dan tamhish al khilafat. Metode ini jauh dari ta’asshub, karena memberikan istidlal aqly porsi yang sangat besar dalam perumusan. Hal ini bisa dilihat pada Imam al Haramain yang kadang berseberangan dengan ulama lain.
b. Metode Fuqaha
Tidak diperdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaidah ushul yang beliau gunakan dalam istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau; mengambil ijma’ shahabat, jika terjadi perbedaan memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai pendapat tabiin sebagai hujjah. Metode ini memiliki ciri khas antara lain;
  1. Kaidah ushul mengikuti (tabi’ah) furu’.
  2. Banyak menyebutkan furu’ dan syawahid.
  3. Kadang, suatu masalah fiqhiyyah memiliki kaidah ushul tersendiri, karena masalah tersebut tidak bisa dimasukkan pada kaidah lain.
c. Metode Mutaakhirin (metode gabungan)
Metode ini menggabungkan dua metode di atas, dimana penulisan dilakukan dengan menggunakan metode mutakallimin pada (hal-hal yang berkaitan dengan) tamhish al adillah disertai penerapan kaidah pada furu’ fiqhiyyah. Kitab yang dikarang dengan metode ini antara lain;
1.     Badi’ al Nidzam al Jami’ baina ushul al Bazdawy wa al Ihkam, karangan Ibn Sa’aty al Hanafy (w. 694 H)
2.     Tanqih al Ushul dan syarahnya Al Taudlih fi Halli Ghowamidl al Tanqih, karangan Shadr al Syari’ah Ubaidillah bin Mas’ud al Hanafy( w. 747 H)
3.     Jam’ al Jawami’, karangan Taj al Din Abdul Wahab bin Aly al Subky (w. 771 H).
4.     Al Tahrir, karangan al Kamal ibn al Humam al Hanafy (. 861 H) dn syrhny kitab al Taqrir wa al Tahrir karangan Muhammad bin Muhammad bin Amir al Haj (w. 879H)

BAB III

PENUTUP
A.     KESIMPULAN
Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai persoalan. Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
Kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara. Dan menjabarkanya kehidupan social yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimuali pada abad ketiga hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga abad kelima dan awal abad 6H abad tersbut merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqh Karena banyak ulama yang mmusatkan perhatianya pada bidang ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi standar dan rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya.

B. SARAN
   Disarankan kepada mahasiswa agar mengetahui pembukuan ushul fiqh dan fiqh agar tidak keliru dalam membedakannya.











DAFTAR PUSTAKA

Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung, 2007

Hasim Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka Pelajar Offset, 1996
Djazuli, Ilmu Fiqh, Prenada Media Group,2007,Jakarta
Khallaf, Abdul, Wahab. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001

Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: cv pustaka setia. 2008

Prof. Dr. H. Abdul Rozak, M.Ag. Ilmu Kalam. Bandung: cv. Pustaka setia. 2012

Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag. ilmu tasawuf. Bandung: cv pustaka setia. 2014








1. Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Fiqh Ushul Fiqh. Bandung: cv pustaka setia. 2008
[2] Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung
[3] Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung
[4] Syafi’I,Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung,2007,bandung
[5] Prof. Dr. H. Abdul Rozak, M.Ag. Ilmu Kalam. Bandung: cv. Pustaka setia. 2012
[6] Prof. Dr. M. Solihin, M.Ag. ilmu tasawuf. Bandung: cv pustaka setia. 2014

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar