BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Tasyri’ secara istilah adalah
pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang
dewasa dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi dikalangan
mereka. Melihat dari makna tasyri’
tersebut maka mucul sebuah permasaalahan yang perlu diperhatikan, yaitu
keberadaan sebuah agama (Islam) yang berada dalam lingkungan orang-orang yang
berwatak keras (Badui) dan masyarakat yang hidup penuh dengan kemaksiatan serta
belum memiliki sebuah aturan baku untuk dijalani oleh pemeluk-pemeluknya, dalam
hal ini adalah tasyri’.
Melihat kondisi tersebut, maka
Allah mengutus Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk menegakkan syariat
Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (tasyri’) ini tidak berhenti setelah
Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai beberapa periode,
mulai dari periode Rasulullah, khulafaur rasyidin, tabiin dan seterusnya.
Adapun pada periode Rasulullah
ini memiliki dua fase, yaitu fase Mekkah dan fase Madinah. Secara
sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam penerimaan tasyri’ yang dibawa oleh
Rasulullah ini. Karena corak kehidupan Mekkah dan Madinah sangatlah jauh
berbeda. Keadaan Mekkah yang saat itu penuh dengan hal-hal yang menyimpang dari
aturan atau hukum Islam, tentunya bagi masyarakat tersebut sulit untuk menerima
hal-hal yang baru dibawa oleh Rasulullah. Sehingga yang pertama kali ditanamkan
dalam hati mereka adalah hal-hal yang menyangkut dengan ketauhidan.
Berbeda halnya dengan keadaan
masyarakat Madinah yang sangat mudah menerima Islam, bahkan mereka menerima
kedatangan Rasulullah dengan senang hati. Sehingga pembentukan tasyri’ pada
masa ini dirasa jauh lebih mudah dibanding dengan fase Mekkah, dan pada masa
inilah hal-hal yang berkaitan dengan Ibadah, tauhid dan sebagainya menjadi
tasyri’.
Al-quran dan hadist pada
periode ini menjadi sebagai sumber penetapan tasyri’, kemudian permasaalahan
yang muncul adalah keterkaitan dengan ijtihad pada masa ini, apakah ijtihad
juga menjadi sumber tasyri’ saat itu.
Dalam bidang hukum, bangsa
Arab pra-Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai bentuknya, seperti
dalam perkawinan mereka mengenal beberapa macam perkawinan yaitu: istibdla,
poliandri, maqthu’, badal, dan shigar.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan
bahwa masyarakat Arab pra-Islam cenderung merendahkan martabat perempuan, oleh
sebab itu maka ditetapkanlah hukum Islam pertama kali oleh Rasulullah untuk
menjadi solusi bagi umat Islam dalam menentukan suatu hukum yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Al-Hadits sehingga membawa dampak positif bagi umat Islam di
dunia khususnya di Arab itu sendiri.[1]
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
tahapan Tasyri’ pada masa Rasulullah dan pada masa khulafaur rasyidin ?
C. TUJUAN
1. Untuk
mengetahui bagaimana tasyri’ pada masa Rasulullah dan pada masa khulafaur
rasyidin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TASYRI’ PADA MASA KERASULAN
Tasyri’
pada masa Nabi di sebut masa pembentukan hukum (al- insya’wa al- takwin),
karena pada masa beliau inilah mulai tumbuh dan terbentuknya hukum islam, yaitu
tepatnya ketika Nabi hijrah ke Madinah dan menetap di sana selama 10 tahun.
Sumber asasinya adalah wahyu, baik alquran maupun sunnah Nabi yang terbimbing
dengan wahyu.
Sumber atau kekuasaan
tasyri’ pada periode ini di pegang oleh Rasulullah sendiri dan tidak seorang
pun yang boleh menentukan hukum suatu masalah, baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk orang lain. Dengan adanya Rasulullah di tengah-tengah mereka serta
dengan mudahnya mereka mengembalikan setiap masalah kepada beliau, maka tidak
seorang pun dari mereka berani berfatwa dengan hasil ijtihadnya sendiri. Bahkan
jika mereka dalam menghadapi sesuatu peristiwa atau terjadi persengketaan,
mereka langsung mengembalikan persoalan itu kepada Rasulullah dan beliaulah yang
selanjutnya akan memberikan fatwa kepada mereka, menyelesaikan sengketa, dan
menjawab pertanyaan dari masalah yang mereka tanyakan.
Berbicara mengenai
tasyri’ pada masa Nabi, masa ini memiliki karekteristik sebagai berikut.
a. Referensi utama untuk mengetahui
hukum-hukum syara’ saat itu hanya Rasulullah sendiri, sebab Allah telah
memilihnya untuk menyampaikan risalah kepada seluruh umat manusia. Hal ini
terdapat pada alquran surah Al-Maidah: 67.
*
$pkr'¯»t
ãAqߧ9$#
õ÷Ïk=t/
!$tB
tAÌRé&
øs9Î)
`ÏB
y7Îi/¢
(
bÎ)ur
óO©9
ö@yèøÿs?
$yJsù
|Møó¯=t/
¼çmtGs9$yÍ
4
ª!$#ur
ßJÅÁ÷èt
z`ÏB
Ĩ$¨Z9$#
3
¨bÎ)
©!$#
w
Ïöku
tPöqs)ø9$#
tûïÍÏÿ»s3ø9$#
ÇÏÐÈ
Artinya:
“Hai rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan
(apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
b. Syariat islam telah sempurna hukumnya
dan telah di kukuhkan kaidah dan dasarnya. Kitabullah dan sunnah Rasul memuat
beberapa kaidah dan dasr yang kokoh serta membuka pintu ijtihad.
Masa Nabi adalah masa turunnya alquran
dan masa terbentuknya hadis nabawi. Keduanya terbentuk sejak beliau diangkat
menjadi Rasul, Yaitu ketika berusia 40 tahun sampai wafatnya pada usia 63
tahun.[2]
1. TAHAPAN TASYRIK PADA MASA RASULULLAH SAW
Periode
Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih dari 22
tahun beberapa bulan. Akan tetapi hal itu membawa pengaruh besar dan hasil yang
gemilang, karena telah meninggalkan nash-nash hukum di dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Periode ini meninggalkan sejumlah dasar tasyri’ yang menyeluruh,
yaitu sejumlah sumber hukum dan dalil untuk mengetahui sesuatu yang tidak ada
nash hukumnya.[3]
Fase ini
bermula ketika Allah mengutus Nabi Muhammad membawa wahyu berupa Alqur’an
ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada hari Jum’at 17 Ramadhan tahun
ketiga belas sebelum hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. Wahyu terus turun
kepada baginda Rasulullah di Mekah selama tiga belas tahun dan terus
berlangsung ketika beliau berada di Madinah dan di tempat-tempat lain setelah
hijrah selama sepuluh tahun, sampai baginda Rasulullah wafat pada tahun 11
hijriah.
Terkadang wahyu
turun kepada baginda Rasulullah dalam bentuk Alqur’an yang merupakan kalam
Allah dengan makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa
makna sementara lafalnya dari Rasulullah atau yang kemudian termanifestasikan
dalam bentuk hadits. Dengan dua pustaka inilah perundang-undangan Islam
ditetapkan dan ditentukan.
Atas dasar ini,
perundang-undangan pada masa Rasulullah mengalami dua periode istimewa, yaitu
periode legislasi hukum syariat di Mekah yang dinamakan perundang-undangan era Mekah
(at-tasyri’ al- makki) dan periode legislasi hukum syariat di Madinah
setelah hijrah yang kemudian disebut perundang-undangan era Madinah (at-
tasyri’ al-madani).[4]
a. Periode Mekkah
Pada periode Makiyyah
Rasulullah lebih memfokuskan kepada pembentukan Akidah dan moral masyarakat mekkah
yang bertolak belakang dengan kebiasaan masyarakat mekkah pada masa itu.
Contohya, kebiasaan masyarakat mekkah menyembah berhala, berjudi,
meminum khamer, membunuh bayi perempuan, dan berzinah. Setelah diangkatnya Nabi
Muhammad dan berdakwah secara terang-terangan barulah terbentuk Hukum Islam
yang mengajak masyarakat mekkah untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan
terdahulu, dan menyembah kepada Allah SWT.
Ketika Rasulullah
mengajak masyarakat mekkah untuk menyembah Allah dan meninggalkan kebiasaan
nenek moyang terdahulu, terdapat perlawanan dari masyarakat mekkah yang
membenci ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad sehingga Rasulullah berhijrah ke
Madinah.
Inti pembentukan Hukum
pada periode Makkiyah adalah membentuk akidah yang sesuai dengan ajaran Islam,
dan menyembah kepada Allah SWT.
Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi sedikit
turun hukum. Periode ini lebih terfokus pada proses penamaan (ghars) tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah,
Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan,
kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina,
pembunuhan dan penipuan.
Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki akidah. Sehingga bila telah
selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan
kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat al-quran yang
turun di Mekkah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan mengajak
mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang
disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari
kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek
moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan
oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan
hidup-hidup.
Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu meminta mereka agar
menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak
dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari
dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka agar tidak berpaling dengan
ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan pada
umat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai
perintah tuhannya.
Pada masa ini al-quran hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga
mayoritas masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang
disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, seperti
pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan
kata lain, periode Mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah
sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata.
Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social dan
moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
Namun ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Nabi Muhammad SAW tidak
diterima oleh masyarakat Mekkah, terutama dalam aspek ekonomi, faktor
diantaranya yaitu :
a. Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila
menyembah berhala dihapuskan maka berhala yang ada tidak laku lagi. Hal ini
mengancam sisi ekonomi mereka (produsen berhala). Karena itu ajaran tauhid juga
banya ditolak oleh masyarakat Mekkah.
b. Ajaran Islam mengecam perilaku ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai
ciri pokok penumpuk harta dan mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.
b. Periode Madinah
Berbeda dengan periode
sebelumnya pada periode madinah sudah banyak masyarakat yang memeluk Agama
Islam dan telah terbentuknya pemerintahan yang tertata dengan rapih. Kemudian
mendorong Tasyri’ sesuai dengan perkembangan masyarakat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan,
baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah,
jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan
segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
Setelah pembentukan
Hukum maka munculah Pembinaan Hukum Pada Masa Rasulullah terdapat 4 dasar
pembentukan Hukum Islam yaitu:
a. Berangsur-angsur dalam penetapan hukum.
b. Mengefisienkan Pembuatan Undang-Undang.
c. Memberi Kemudahan dan Keringanan.
d. Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan
umat manusia.
Yakni selama kira-kira 10 tahun berjalan dari waktu
hijrah beliau sampai wafatnya. Pada fase ini Islam terbina menjadi umat,
membentuk pemerintahan, dan media-media dakwah telah berjalan lancar. Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan berkembang dengan pesatnya,
jumlah umat Islam pun sudah betambah banyak dan mereka sudah memiliki suatu
pemerintahan yang gilang gemilang. Keadaan inilah yang mendorong perlunya
mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur hubungan antara
individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya, dan untuk mengatur pula
hubungan mereka dengan bangsa yang bukan Islam baik di waktu damai maupun
perang.
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan
masyarakat sebagai masyarakat percontohan. Oleh karena itu di periode
madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut
(ayat-ayat ahkam) turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun sosial.
Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun
ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada sejak periode Mekkah, bahkan justru
dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah tersebut.
Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena selalu
dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua
yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan
kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu
maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana,
mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang
menjadi cakupan ilmu fiqih.
Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan
peristiwa-peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab
pencabangannya dan kodifikasi hukum-hukum, sebagaimana masa-masa
akhir yang telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada masa ini berjalan
bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu
masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada
Rasulullah SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan
satu atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang
dengan hadis dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum dengan
pengalamannya. Atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW
menetapkan (takrir) hal itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.
Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses perkembangan syariat pada
periode ini. Pertama adalah : metode Nabi dalam menerangkan hukum.
Dalam banyak hal syariat Islam turun secara global Nabi sendiri tidak menjelaskan
apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya dan
lain sebagainya. Seperti ketika Nabi salat, para sahabat melihat salat nabi dan
mereka mengikutinya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.
Kedua adalah:
kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri ketika mereka sedang
haid, bolehkah berperang pada bulan haji. Dan ada pula yang disyariatkan tanpa
didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan
persoalan yang mereka hadapi, termasuk didalamnya adalah masalah ibadah dan
beberapa hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga adalah: turunnya syariat secara bertahap (periodik). Maksudnya
pembentukan kondisi masyarakat yang layak dan siap dan menerima Islam harus
menjadi prioritas yang diutamakan.
Dengan keadaan masyarakat yang demikian, yang disyariatkan pada fase
Madinah adalah hukum kemasyarakatan yang mencakup: muamalat, perkawinan,
utang-piutang, perjanjian, jihad, jinayat, mawarits, wasiat, talak, sumpah, dan
peradilan.
Sebagaimana
terdapat pada surat-surat madaniyah dalam Al-Qur’an, seperti: al-Baqarah,
al-Imran, al-Nisa, al-Maidah, al-Anfal, dan al-Ahzab.[5]
2. PENGENDALI KEKUASAAN
TASYRI’ PADA MASA RASULULLAH
Pada masa Rasulullah, pengendali kekuasaan tasyri’
adalah Rasulullah sendiri. Tidak seorang pun umat Islam selain Rasulullah
sendiri yang mentasyri’kan hukum pada suatu kejadian, baik untuk dirinnya
maupun untuk orang lain. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum Islam
langsung ditanyakan dan diberi kata putus oleh Rasulullah, dan tidak ada
masyarakat yang berani melakukan ijtihad sendiri. Rasulullah memberi fatwa,
menyelesaikan persengketaan, menjawab pertanyaan-pertanyaan berdasarkan
beberapa ayat Al-Qur’an yang di wahyukan oleh Allah kepada beliau, dan tidak
jarang pula dengan cara ijtihad Rasulullah yang bersandar kepada ilham dari
Allah, atau berdasar kepada petunjuk akalnya. Hukum-hukum yang dikeluarkan oleh
Rasulullah kemudian menjadi tasyri’ bagi umat Islam dan merupakan undang-undang
yang wajib diikuti, baik hal itu bersumber dari Allah maupun dari ijtihad
Rasulullah sendiri.
Meskipun demikian tetap saja ada beberapa sahabat yang
melakukan ijtihad sendiri untuk memutuskan persengketaan pada sebagian
peristiwa hukum, misalnya:
1. Ali ibn Abi Thalib telah diutus oleh Rasulullah ke
Yaman sebagai qadhi. Rasulullah bersabda kepadanya,“Sesungguhnya Allah akan
menunjuki hatimu dan meneguhkan lisanmu. Jika di hadapanmu duduk dua orang yang
bersengketa, janganlah engkau memberi keputusan hukum hingga engkau mendengar
keterangan dari pihak kedua sebagimana engkau telah mendengar keterangan dari
pihak pertama, karena hal itu lebih memelihara jelasnya keputusanmu.”
2. Suatu ketika, ada dua orang sahabat sedang dalam perjalanan.
Kemudian datang waktu shalat sedangkan keduanya tidak mendapatkan air. Yang
seorang berijtihad dengan berwudlu dan mengulangi shalatnya, sedangkan temannya
berijtihad bahwa shalat yang dilakukan itu sudah mencukupi dan tidak perlu
mengulang shalat lagi.
3. Suatu ketika Rasulullah bersadbda kepada ‘Amr ibn
Ash, “putuskanlah perkara ini.” ‘amr menjawab: “Apakah
saya boleh berijtihad, sedangkan tuan ada di depanku?” Rasul
menjawab, “Ya, jika betul maka engkau mendapat dua pahala, dan jika
keliru maka engkau mendapat satu pahala.”
4. Contoh kasus diatas mempunyai pesan bahwa seseorang
(sahabat) selain Rasulullah boleh melakukan ijtihad hanya dalam situasi yang
sangat khusus dan mendesak saja. Keputusan para sahabat dalam kasus diatas
hanya bersifat penerapan hukum, bukan berupa tasyri’ dan bukan pula
undang-uundang yang ditetapkan untuk umat Islam, kecuali dengan ketetapan dari
Rasulullah.[6]
3. SUMBER TASYRI’ PADA FASE KERASULAN
Sumber perundang-undangan hukum Islam (tasyri’) pada fase
ini terhimpun dalam satu sumber, yaitu wahyu yang turun kepada Rasulullah dari
sisi Allah.
Wahyu sendiri
ada dua macam, yaitu wahyu yang terbaca, yaitu :
1. Alqur’an Al-
Karim
Alqur’an
Al-Karim adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw dianggap ibadah
membacanya, menjadi penantang dengan surah terpendek darinya, diawali dengan
Surah Al- Fatihah dan ditutup dengan Surah An-Nas.
Alqur’an
merupakan sumber pertama dan utama bagi perundang-undangan Islam, ia meliputi
semua ajaran pokok dan semua kaidah yang harus ada dalam pembuatan
undang-undang dan peraturan.
Hikmah Allah
menetapkan bahwa Alquran tidak turun kepada Rasulullah Saw sekaligus, namun ia
turun secara berangsur-angsur sesuai dengan keadaan dan problematika yang
terjadi. Selain itu Alquran juga tidak turun dengan jumlah ayat yang terbatas
namun ia turun berbeda beda, terkadang ia turun dalam satu surah secara
sempurna dan terkadang hanya sepuluh ayat, atau lima atau bahkan satu ayat atau
penggalan dari satu ayat.
Orang-orang kafir
pernah menantang Rasulullah Saw tentang cara Alqur’an turun secara
berangsur-angsur dan meminta kepada baginda agar diturunkan sekaligus
sebagaimana Allah menurunkan Injil dan Taurat, lalu turunlah firman Allah Swt:
tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. wöqs9 tAÌhçR Ïmøn=tã ãb#uäöà)ø9$# \'s#÷Häd ZoyÏnºur 4 y7Ï9ºx2 |MÎm7s[ãZÏ9 ¾ÏmÎ/ x8y#xsèù ( çm»oYù=¨?uur WxÏ?ös? ÇÌËÈ
Artinya:
“Berkatalah
orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan
Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al- Furqan: 32)
Allah Swt
menurunkan Alqur’an secara berangsur-angsur dengan beberapa alasan, antara lain
sebagai berikut:
a.
Mengokohkan hati Rasulullah Saw khusunya, apalagi baginda merasa
takut ketika pertama kali bertemu dengan jibril, setelah itu wahyu terputus
beberapa waktu sehingga hati baginda menjadi tenang dan ada rasa rindu dengan
wahyu.
b.
Memudahkan bagi Nabi Saw untuk menghafalnya sebab baginda adalah
orang yang ummiy, tidak dapat membaca dan menulis, berbeda dengan Nabi
Musa As yang dapat membaca dan menulis sehingga mudah baginya untuk mengahafal
taurat.
c.
Mempermudah proses regulasi perundang-undangan sesuai dengan jumlah
syariat yang turun, sebab pada sebagian keadaan Alqur’an turun sebagai jawaban
atas pertanyaan yang diajukan, kejadian yang muncul, atau adanya masalah dan
fatwa.
d.
Merealisasikan tujuan dari nasakh, yaitu bertahap dalam
pensyariatan, sebab bagian dari substansi perundang-undangan adalah menetapkan
hukum untuk pertama kali lalu menghapusnya setelah itu dengan hukum yang lain.
e.
Memberi kemudahan dan empati kepada hamba dengan menurunkan wahyu
secara berangsur-ansur, mudah untuk diamalkan dan ini tidak mungkin terjadi
jika Alquran turun sekaligus, banyak taklif, susah untuk diamalkan
mereka yang baru masuk islam karena sebelumnya mereka hidup di alam serba boleh
sebelum diutusnya baginda Rasulullah Saw.
2. As- Sunnah An- Nabawiyah
As-Sunnah An- Nabawiyah adalah setiap orang yang keluar dari
Rasulullah Saw berupa ucapan, perbuatan, atau pengakuan selain dari Alquran.
As-Sunnah menempati urutan kedua setelah Alquran karena
menjadi penguat, penjelas, penafsiran, penambahan terhadap hukum-hukum yang ada
dalam Alquran.
As-Sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat yang diturunkan
secara global sebagaimana dalam firman Allah Swt: Dan dirikanlah shalat.
Ini adalah nash global dalam pensyariatan shalat, sedangkan dari segi waktu,
jumlah rakaat, dan rukunnya semuanya dijelaskan oleh As-Sunnah dengan sabda
Rasulullah Swt: Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat saya shalat.
As-Sunnah juga
datang sebagai penegas terhadap hukum yang ada dalam Al-quran seperti haramnya
mencuri, riba, dan memakan harta orang lain dengan cara batil.[7]
B. TASYRI’ PADA
MASA KHULAFA’AR RASYIDIN
Periode
ini dianggap sebagai periode pertama dalam pembentukan fiqh Islam. Periode ini
berawal dari zaman wafatnya Rasulullah Saw dan menghadap Allah pada tahun 11
hijrah sampai akhir zaman khulafa’ar rasyidin pada tahun 40 hijrah dengan gaya
dan corak tersendiri. Setelah hukum-hukum syariat sempurna pada masa kerasulan,
lalu pindah ke zaman para sahabat, mereka harus memikul tanggung jawab mencari
sumber-sumber syariat yang ada agar dapat menjawab segala perkembangan dan
kejadian yang terus berlangsung dan tidak ada nash-nya dalam Alquran
atau sunnah.[8]
1. PENGERTIAN FATWA TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM
Setelah Rasulullah
wafat, para sahabatlah yang meneruskan ajaran dan misi kerasulan. Abu
bakar,secara aklamasi,diangkat menjadi khalifah pertama. Pada awal pemerintahnnya,
ia telah menghadapi masalah berupa pemberontakan dari beberapa federasi (suku)
Arab yang berusaha memberontak terhadap umat islam,khususnya terhadap
pemerintahan sah Abu bakar. Karena
hebatnya pemberontakan itu,ada sebagian federasi di Arabia yang melepaskan diri
dari islam (al-riddah),ada juga sebagian masyarakat yang masih memeluk
islam,tetapi enggan membayar zakat. Dalam pandangan Abu Bakar,pemberontakan itu
dapat menganggu stabilitas pemerintahan. Berdasarkan pertimbangan itu,ia mengirim
pasukannya untuk memerangi mereka.Dalam sejarah pertempuran ini dikenal sebagai
perang Riddah.
Akibat buruk
perang riddah harus ditelan oleh kaum muslimin dengan kehilanga beberapa hufazh
(penghafal A-Qur’an).Banyak para hufazh yang terbunuh,menimbulkan kekhawatiran
di kalangan kaum muslimin akan kehilangan Al-Qur’an. Menghadapi kekhawatiran
itu,Abu Bakar,atas usul umar,mengumpulkan Al-Qur’an berdasarkan bahan-bahan
yang ada,baik hafalan maupun catatan. Pada awalnya abu bakar menolak usulan itu
karena Rasulullah tidak pernah melakukan dan tidak pula memerintahkannya. Namun,akhirnya
Abu Bakar menerimanya setelah diterima dipertimbangkan bagi umat islam. Beliau
selanjutnya menunjuk Zaid bin Sabid sebagai penulis Al-Qur’an.
Setelah situasi
masyarakat Arab dapat dipulihkan kembali (bersatu),barulah Abu bakar mengirim
pasukannya keirak dan Syam nutuk mengembangkan islam dikerajan persia dan
romawi. Namun, sebelum semuannya selesai,Abu Bakar wafat ia lalu digantikan
oleh umar bin khatab. Semakin luas daerah kekuasaan islam,semakin banyak pula
masalah-masalah yang dihadapi kaum muslimin tentang kehidupan yang memerlukan
ketentuan syariat islam,terutama yang ditentukan dala Al-Qur’an dan Assunah.[9]
2. PERBEDAAN
DALAM MEMAHAMI SYARIAT DI KALANGAN SAHABAT
Walaupun para sahabat memiliki kemampuan khusus dan tingkat
pemahaman istimewa dalam memahami syariat dan meng-istibat hukum, namun
bukan berarti ini barlaku untuk semua.
Perbedaan ini disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:
a.
Perbedaan tingkat pemahaman terhadap bahasa. Ada orang yang paham
dengan bahasanya sendiri, istilah-istilah asing yang ada dan cara pemakaiannya,
tetapi ada juga yang tidak bisa.
b.
Perbedaan dalam hal pergaulan dengan Rasulullah Saw, sebab bergaul
dengan baginda Rasulullah berpengaruh terhadap tingkat pemahaman tentang asbab
nuzul ayat dan sunnah.
c.
Kemampuan dan kapasitas individu yang berbeda-beda, diantaranya
perbedaan dalam hal tingkat pemahaman, hafalan, mengeluarkan hukum (istinbat),
dan kemampuan menerjemahkan isyarat dari nash-nash syariat.
3. SUMBER
TASYRI’ PADA MASA SAHABAT
Sahabat Rasulullah merupakan orang yang pertama kali memikul beban
setelah Rasulullah tiada untuk menjelaskan tentang syariat Islam dan
mengaplikasikannya terhadap segala permasalahan yang muncul. Diantara
permasalahan yang muncul ada yang sudah disebutkan nash nya dan ada yang
belum disebutkan hukumnya. Oleh sebab itu, para sahabat dituntut untuk
mengeluarkan hukum (istinbat) dengan metode yang jelas sesuai dengan
petunjuk Nabi Saw sehingga produk hukum yang ditetapkan tidak kontradiktif.
Sumber pensyariatan (perundang-
undangan) pada masa sahabat adalah:
a.
Al-quran
b.
As-Sunnah
c.
Ijma’
d.
Logika (ra’yi)
4. SIKAP PARA SAHABAT TERHADAP SUMBER TASYRI’ PADA MASA ITU
a. Kitab Allah
Al-qur’an
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw dengan lafal dan
maknanya. Para sahabat sama sekali tidak pernah mendahului Al-quran, karena ia
adalah sumber pertama bagi pembentukan akidah Islam, akhlak yang mulia, dan
hukum-hukum amal perbuatan termasuk juga bahasa.
b. As-Sunnah
Para sahabat selalu kembali dan mengacu
kepada As-Sunnah dalam meng-istibat hukum manakala tidak menemukan nash
dalam kitab Allah, karena As-Sunnah adalah sumber yang kedua bagi
perundang-undangan Islam setelah Al-qur’an.
Adapun cara
para sahabat dalam mengamalkan sunnah pada zaman ini adalah jika ada hadits dan
perawinya yakin karena ia memang mengetahuinya, atau karena perawinya bisa
dipercaya (tsiqah), atau ada yang memberi persaksian dan tidak diketahui
bahwa ia sudah meninggal sebelum periwayatan, atau tidak yang menentangnya maka
dalam keadaan ini mereka tidak akan ragu-ragu untuk menerima dan mengamalkan
dan berfatwa dengannya.
c. Ijma’
Ijma’ adalah
kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi Muhammad Saw dalam satu zaman tentang
satu masalah syariat. Kata mujtahid mengecualikan kesepakatan yang di lakukan
oleh selain mereka, misalnya kesepakatan orang awam atau muqalid (yang
hanya ikut-ikutan) yang ini tidak dianggap. Ijma’ juga harus berasal dari semua
mujtahid, sehingga kesepakatan sebagian ulama saja tidak dianggap ijma’.
d. Ra’yi (Pendapat Pribadi)
Yang dimaksud
dengan ra’yi (ijtihad) adalah mencurahkan segala upaya dalam rangka
mencari hukum dan mengeluarkannya dari dalil yang sudah terperinci, baik dalil
berupa nash dari Alqur’an atau sunah atau dalil aqli berupa qiyas,
maslahat mursalah, adat istiadat (‘urf ), atau berupa hal yang darurat.
Adapun sikap para
sahabat terhadap ra’yi (pendapat pribadi), mereka bukan termasuk orang
yang terbiasa dengan cara seperti ini, walaupun banyak masalah yang mereka
hadapi yang tidak ada nash yang pasti, baik dari Al-qur’an atau sunnah.
Penggunaan istilah ra’yi
(ijtihad) tidak populer bagi semua kalangan sahabat, hanya beberapa orang
yang mengenal istilah ini seperti para khulafaur ar-rasyidin, Aisyah, Abdullah
bin Mas’ud, Ibnu Abbas, dan Zaid bin Tsabit.
Manhaj para
sahabat dalam menggunakan ra’yi adalah berpegang teguh pada kebenaran di
mana pun ia berada, mayoritas mereka akan memakai pendapat orang lain
5. KARAKTERISTIK TASYRI’
PADA ZAMAN SAHABAT
Tasyri’
(perundang-undangan) pada masa sahabat memiliki karakteristik dan keistimewaan
sebagai berikut:
1. Fiqih pada
zamain ini sangat sejalan dan serasi dengan segala permasalahan yang muncul,
tidak hanya terbatas pada apa yang pernah ada pada masa kerasulan.
2. Pada zaman ini
Alqur’an telah dibukukan dan mushaf disentralisasikan yang dengannya kaum
muslimin terhindar dari pertikaian tentang sumber utama bagi syariat islam yang
sebelumnya mereka terpecah kepada beberapa kelompok.
3. Pada zaman ini
hadits belum diriwayatkan seperti sekarang, kecuali jika ada keperluan mendesak
seperti ingin mengetahui tentang hukum satu masalah, periwayatan tidak begitu
digemari kecuali pada akhir zaman ini ketika para sahabat berpencar di berbagai
pelosok negeri yang baru ditaklukkan.
4. Pada zaman ini
muncul satu sumber baru bagi perundang-undangan Islam, yaitu ijma’ dan itu
sering tetjadi karena memang mudah untuk dilakukan dan semua asbabnya memadai
seperti yang sudah kamu jelaskan.
5. Pada zaman ini
banyak terjadi ijtihad yang berlandaskan kepada pemahaman tentan illat
hukum baik ada atau tidaknya.
6. Para sahabat
tidak mewariskan fiqh yang tertulis yang dapat dirujuk namun mereka hanya
mewariskan fatwa dan hukum yang tersimpan dalam dada para sahabat dan
disampaikan kepada kita dengan cara periwayatan.
7. Dari paparan
penjelasan tentang ra’yi (ijtihad) terlihat bahwa sebagian sahabat ada
yang agak longgar dalam memakai pendapat pribadi yang dimotori ole Umar bin
Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bim Mas’ud.[10]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada periode Rasulullah
pembentukan tasyri’ terbagi menjadi 2 yaitu:
a.Periode Makkah
Pada periode makiyyah Rasulullah lebih
memfokuskan kepada pembentukan Akidah dan moral masyarakat makkah yang bertolak
belakang dengan kebiasaan masyarakat mekkah pada masa itu. Contohya, kebiasaan
masyarakat mekkah menyembah berhala, berjudi, meminum khamer,
membunuh bayi perempuan, dan berzinah. Setelah diangkatnya Nabi Muhammad dan
berdakwah secara terang-terangan barulah terbentuk Hukum Islam yang mengajak masyarakat
mekkah untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan terdahulu, dan menyembah kepada
Allah SWT.
Ketika Rasulullah mengajak
masyarakat makkah untuk menyembah Allah dan meninggalkan kebiasaan nenek moyang
terdahulu, terdapat perlawanan dari masyarakat mekkah yang membenci ajaran yang
dibawa oleh Nabi Muhammad sehingga Rasulullah berhijrah ke Madinah.
Inti pembentukan Hukum pada periode Makkiyah adalah membentuk akidah yang
sesuai dengan ajaran Islam, dan menyembah kepada Allah SWT.
b. Periode Madinah
Berbeda dengan periode sebelumnya pada periode madinah sudah banyak
masyarakat yang memeluk Agama Islam dan telah terbentuknya pemerintahan yang
tertata dengan rapih. Kemudian mendorong Tasyri’ sesuai dengan perkembangan
masyarakat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan,
baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah,
jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan
segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
Setelah pembentukan Hukum maka munculah Pembinaan Hukum Pada Masa
Rasulullah terdapat 4 dasar pembentukan Hukum Islam yaitu:
a.
Berangsur-angsur dalam penetapan
hukum.
b.
Mengefisienkan Pembuatan
Undang-Undang.
c.
Memberi Kemudahan dan Keringanan.
d.
Berjalannya undang-undang sesuai
dengan kemaslahatan umat manusia. Sedangkan
Perkembangan tasyri’ pada masa khulafa’ ar-Rosyidin sangat hidup dan
semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul meskipun lebih kecil dibanding pada
masa-masa berikutnya. Para sahabat tidak menyikapi hukum-hukum islam secara
ideal yang lepas dari konteks sosial, tetapi dimensi sosial itu telah
menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban yang tepat dan ideal terhadap
berbagai problematika yang bermunculan.
Sumber hukum pada masa khulafa’ ar-Rasyidin diambil dari tiga sumber yaitu
al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad (Qiyas dan Ijma’). Dan dalam masa inilah
terdapat peristiwa yang besar yaitu pengumpulan al-Qur’an sebagai sumber hukum
islam yang paling utama yang terjadi pada masa khalifah Abu Bakar a.s.
Dan tidak semua persoalan yang dihadapi mujtahid periode sahabat telah
mendapat ketegasan hukum dalam al-Qur’an maupun Hadis (nash). Terdapat beberapa
permasalahan yang secara eksplisit tidak mendapatkan ketegasan dari nash. Untuk
mendapatkan ketegasan tersebut para sahabat berusaha mencurahkan pikiran
(ijtihad), dengan menggunakan metode yang mereka peroleh dari beragam
pengalaman, pertemuan, dll.
B. SARAN- SARAN
Disarankan kepada mahasiwa/
mahasiswi agar mengetahui bagaimana Tasyri’ pada masa Kerasulan dan Tasyri’
pada masa Khulafaur Rasyidin.
1 komentar:
Betway Casino Review & Welcome Bonus - Jtm Hub
This Betway Casino is 영천 출장샵 a Licensed 군산 출장샵 Casino in Malta and can be accessed from mobile devices and 익산 출장샵 smartphones, as well as desktop and 전라북도 출장안마 mobile. 과천 출장마사지 It Rating: 3 · Review by JT Hub
Posting Komentar